Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Konsep Dasar Analisis Kebijakan Pendidikan Tinggi

 Konsep Dasar Analisis Kebijakan 

Pendidikan Tinggi

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Pendidikan memiliki fungsi yang hakiki dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang akan menjadi aktor-aktor  dalam menajalankan fungsi dalam berbagai bidang kehidupan, seperti bidang kependudukan, politik, ekonomi, ketenagakerjaan, dan sosial budaya. Hubungan antara pendidikan dan bidang-bidang kehidupan diluar pendidikan, perlu dibahas agar terjadi sinergi antara sistem internal pendidikan dan faktor eksternal tersebut.

Tantangan eksternal dari sistem pendidikan seharusnya merupakan sumber inspirasi yang paling utama dalam melakukan perubahan dan pembaruan sistem pendidkan itu sendiri secara internal. Dengan melakukan kajian terhadap keadaan dan permasalahan mengenai bidang-bidang kehidupan lain di luar pendidikan, beberapa permasalahan dan tantangan dalam pembangunan sistem pendidikan akan muncul kepermukaan. Tantangan masa depan bagi sistem pendidikan di Indonesia tidak semata-mata menyangkut bagaimana meningkatkkan pendidikan secara internal, tetapi juga bagaimana meningkatkan kesesuaian pendidikan dengan bidang-bidang kehidupan lain.

Tuntutan yang paling mendesak dalam memacu pembangunan pendidikan yang bermutu dan relevan ialah meningkatkan kamampuan dalam melakukan analisis kebijakan. Para analis kebijakan dalam bidang pendidikan tidak hanya dituntut untuk menguasai teknik-teknik penelitian dan pengembangan, tetapi juga dituntut untuk menguasai isu-isu pendidikan yang relevan, baik isu pendidikan secara internal maupun isu-isu pendidikan dalam kaitannya secara lintas sektoral. Isu-isu pendidikan secara internal akan meliputi sistem pendidikan  berikut komponen-komponennya yang integral, seperti isu “pemerataan dan perluasan akses pendidikan,  isu peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan, serta isu penguatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraaan publik”. Tiga isu di atas, menjadi isu utama sistem pendidikan dewasa ini dalam strategi pengembangan sistem pendidikan 2005-2009.[1]

Isu pendidikan secara eksternal juga penting untuk terus dikaji oleh para analis kebijakan, menyangkut keterkaitan yang integral antara pendidikan dan kebutuhan masyarakat sebagai stakeholders pendidikan,  dalam berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, sosial budaya, ketenagakerjaan, dan lingkungan hidup. Penguasaan terhadap isu-isu pendidikan, baik secara internal maupun eksternal, perlu dibentuk oleh suatu keolompok analis kebijakan pendiidkan yang memiliki latar belakang pendidikan secara interdisipliner. Penguasaan teknologi dalam penelitian dan pengembangan serta isu-isu kebijakan pendidikan tersebut harus senantiasa merupakan kekuatan yang perlu terus dikembangkan. Hal itu dilakukan agar mampu melahirkan berbagai gagasan yang berguna dalam upaya menghasilkan alternatif kebijakan dalam membangun system pendidikan yang efisien, bermutu, dan relevan dengan tuntutan masyarakat dalam berbagai bidang.

B.  Rumusan Masalah

1.   Apa pengertian analisis kebijakan?

2.   Apa pendekatan dalam analisis kebijakan?

3.   Apa konsep perguruan tinggi?

4.   Apa kebijakan pokok pembangunan pendidikan tinggi?

5.   Bagaimana analisis kebijakan pendidikan tinggi islam?


pixabay


PEMBAHASAN

 A.  Pengertian Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan merupakan suatu prosedur  berfikir yang sudah lama dikenal dan dilakukan dalam sejarah manusia. Menurut Duncan MacRae analisis kebijakan adalah sebagai suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan argumentasi rasional dengan menggunakan fakta-fakta untuk menjelaskan, menilai, dan membuahkan pemikiran dalam rangka upaya memecahkan  masalah publik.[2] Lebih lanjut  Suryadi, dan Tilaar menegaskan bahwa  analisis kebijakan adalah  sebagai suatu cara atu prosedur  dalam menggunakan pemahaman manusia terhadap dan untuk pemcahan masalah kebijakan.

Definisi kerja analisis kebijakan menurut Dunn ialah suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan metode inquiri dan argumentasi berganda untuk menghasilkan dan mendayagunakan informasi kebijakan yang sesuai dalam suatu proses pengambilan keputusan yang bersifat politis dalam rangka memecahkan masalah kebijakan.[3] Berdasarkan definisi di atas ada empat hal yang terkandung dalam definisi tersebut:

  1. Sebagai ilmu sosial terapan, artinya suatu hasil nyata dari suatu misi ilmu pengetahuan  yang terlahir dari gerakan profesionalisme ilmu-ilmu sosial. 
  2. Menghasilkan dan mendayagunakan informasi, ialah suatu bagian dari kegiatan analisis kebijakan yaitu pengumpulan, pengolahan, dan pendayagunaan data agar menjadi masukan yang berguna bagi para pembuat keputusan. 
  3. Menggunakan “metode inquiri” dan argumentasi berganda, ialah penggunaan jenis-jenis metode dan teknik dalam analisis kebijakan seperti  metode yang sifatnya deskriftif, metode yang sifatnya preskriftif, metode yang bersifat kuantitatif dan yang bersifat kualitatif. Penggunaan metode tersebut sangat tergantung pada sifat isu kebijakan yang sedang disoroti. 
  4. Pengambilan keputusan yang bersifat politis, ialah suatu proses pendayagunaan informasi didalam proses pembuatan kebijakan publik.

Sementara itu menurut Penelaahan Sektor Pendidikan analisis kebijakan  adalah suatu proses yang dapat menghasilkan informasi teknis sebagai salah satu masukan bagi perumusan beberapa alternatif kebijakan yang didukung oleh informasi teknis. Informasi teknis itu merupakan suatu satuan pernyataan kebenaran induktif yang didukung oleh kebenaran secara empiris sebagai hasil dari rangkaian analisis data.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa analisis kebijakan pendidikan adalah prosedur untuk menghasilkan informasi kependidikan, dengan menggunakan data sebagai salah satu  masukan bagi perumusan beberapa alternatif kebijakan dalam pengambilan keputusan yang bersifat politis dalam rangka memecahkan masalah kependidikan.

Analisis kebijakan tidak semata-mata melakakan analisis terhadap data dan informasi, akan tetapi memperhatikan seluruh aspek yang menyangkut proses pembuatan suatu kebijakan, mulai dari analisis terhadap masalahanya, pengumpulan iniformasi, analisis, penentuan alternatif kebijakan, sampai kepada penyampaian alternatif tersebut terhadap para pembuat keputusan. Rumusan alternatif kebijakan yang dihasilkan dari suatu proses analisis kebijakan ini tidak dengan sendirinya atau secara langsung  dapat dijadikan suatu kebijakan. Jika rumusan kebijakan ini sudah didukung oleh suatu kekuatan otoritas, alternatif, maka alternatif kebijakan itu sendiri akan berubah menjadi suatu kebijakan. Jadi prosedur yang dapat menghasilkan alternatif kebijakan merupakan proses rasional. Sedangkan terjadinya kebijakan itu sendiri merupakan proses politik.

Pemisahan proses yang rasional dengan proses politik dalam pengambilan kebijakan kurang menggambarkan keadaan yang sebenarnya terjadi di lapangan. Dalam kenyataan, banyak dijumpai bahwa proses yang rasional dalam analisis kebijakan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses politik itu sendiri. Proses yang rasional empiris dalam analisis kebijakan tersebut sering digunakan sebagai alasan dasar dalam suatu perjuangan politik dari salah satu kepentingan. Mungkin juga sebaliknya, proses politik merupakan salah satu bentuk proses rasional karena politik berbicara mengenai kepentingan masyarakat banyak.

B.  Pendekatan Dalam Analisis Kebijakan

Dalam literatur analisis kebijakan, pendekatan dalam analisis kebijakan pada dasarnya meliputi dua bagian besar, yaitu pedekatan deskriptif dan pendekatan normatif.[4] Pendekatan deskriptif adalah suatu prosedur atau cara yang digunakan oleh penelitian dalam ilmu pengetahuan (baik ilmu pengetahuan murni maupun terapan).

Selanjutnya Suryadi dan Tilaar, mengutip pendapat  Cohn bahwa pendekatan deskriptif ialah pendekatan positif yang diwujudkan dalam bentuk upaya ilmu pengetahuan yang menyajikan suatu State of the Art atau keadaan apa adanya yang sedang diteliti dan perlu diketahui oleh pemakai. Tujuan pendekatan deskriptif ialah mengemukakan penafsiran  yang benar secara ilmiah  mengenai gejala kemasyarakatan agar diperoleh kesepakatan umum mengenai suatu permasalahan yang sedang disoroti. Dunn  menambahkan satu pendekatan lagi sejalan dengan pendekatan deskriptif yaitu pendekatan evaluatif, yaitu menerangkan apa adanya tentang hasil dari suatu upaya yang dilakukan oleh suatu kegiatan atau program.

Perbedaan kedua pendekatan tersebut, adalah   terletak pada penggunaan kriteria. Pendekatan deskriptif menekankan atau pendekatan positif dimaksudkan untuk menerangkan suatu gejala dalam keadaan tiada kriterinya, sebaliknya pendekatan evaluatif dimaksudkan untuk menerapkan kriteria atas terjadinya gejala tesebut. Contoh, meningkatnya mutu pendidikan ialah suatu gejala yang dipersepsikan setelah diadakan pengukuran, dalam kaitannya dengan riteria mutu pendidikan  yang ditentukan sebelumnya. Dengan demikian pendekatan evaluatif menekankan pada pengukuran sedangkan pendekatan deskriptif lebih menekankan pada penafisiran terjadinya gejala bersangkutan.

Pendekatan normatif yang sering juga disebut pendekatan prespektif merupakan upaya dalam ilmu pemgetahuan untuk menawarkan suatu norma, kaidah, atau resep yang dapat digunakan oleh pemakai  dalam rangkah memecakan masalah. Tujuan pendekatan ini ialah membantu mempermudah para pemakai hasil penelitian dalam menentukan atau memilih salah satu dari beberapa pilihan cara atau prosedur yang paling efisien dalam menangani atau memecahkan masalah.

Analisis kebijakan pendidikan sebagai salah satu cabang ilmu sosial terapan juga menggunakan pendekatan  deskriptif dan pendekatan normatif. Pendekatan deskriptif dimaksudkan untuk menyajikan informasi  apa adanya kepada pengambil keputusan. Tujuan dari pendekatan deskriptif dalam analisis kebijakan pendidikan agar para pengambil keputusan memahami permasalahan yang sedang disoroti dari suatu isu kebijakan. Pendekatan normatif dimaksudkan untuk mebantu para pemgambil keputusan  dalam bentuk pemikiran-pemikiran  mengenai cara atau prosedur yang paling efisien dalam memecahkan suatu masalah kebijakan publik.

Dalam analisis kebijakan, pendekatan deskriptif juga digunakan untuk meyajikan informasi yang diperlukan oleh para pemakai informasi, khususnya para pengambil keputusan, sebagai bahan masukan bagi proses pengambilan keputusan, baik berbentuk indikator kualitatif atau indikator kualitatif agar para pengambil keputusan dapat membuat kesimpulan sendiri tampa bantuan dari analisis kebijakan. Dari pemahaman itu diharapkan para pengambil keputusan dapat melahirkan keputusan yang sesuai dengan keadaan dan masalahnya itu sendiri. Bahkan dalam keadaan mendesak, biasanya para pemgambil keputusan lebih tertarik dengan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari satuan-satuan informasi daripada satuan informasinya itu sendiri.namun para analis kebijakan menyediakan kedua-duanya, baik dalam bentuk sajian satuan-satuan informasi maupun kesimpulannya.

Pendekatan normatif dalam analisis kebijakan dimaksudkan untuk membantu para pengambil keputusan dalam meberikan gagasan hasil pemikirang agar para pengambil keputusan tersebut dapat memecahkan suatu kebijakan. Informasi yang normative atau preskritif ini biasanya berbentuk alternatif kebijakan sebagai hasil dari analisis data. Informasi jenis ini dihasilkan dari metodologi yang sepenuhnya bersifat rasional yang sesua, baik dengan argumentasi teoritis maupun data dan informasi. Informasi yang bersifat normati ini oleh Penelah Sektor Pedidikan dapat diperoleh dari Balitbang diknas, yang disebut “informasi teknis” karena analisis data berdasarkan informasi yang berkaitan derngfan suatu isu kebiajakan yang sedang atau sedang disoroti.[5]

Pendekatan deskriptif dan normatif ini hanyalah merupakan sebagian dari proses analisis kebijakan dalam dimensi rasional. Para ahli seperti Patton, dan Sawacki, 1986; Stokey dan Zekhouser, 1985 menyatakan bahwa bahwa analisis kebijakan hanya meliputi dimensi rasional. Dunn berpendapat bahwa analisis kebijakan meliputi seluruh dimensi rasional maupun politik. Namun, sepanjang analisis kebijakan juga menggunakan pendekatan normatif maka keseluruhan aspek yang berkaitan dengan pengambilan keputusan merupakan subyek yang perlu dipelajari dalam analisis kebijakan. Sesuatu  masalah kebijakan publik, seperti pendidikan  dapat dipandang secara multi disipliner, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Oleh karena itu, proses politik dari analisis kebijakan merupakan proses yang diteliti di dalam analisis kebijakan pendidikan.

C.  Konsep Perguruan Tinggi

Menurut D.A. Tisna Amijaya dalam mengidentifikasi pengembangan sebuah perguruan tinggi, perlu diketahui lima masalah besar yang dihadapi oleh perguruan tinggi. Pertama, produktivitas yang rendah, Kedua, keterbatasan daya tampung, Ketiga, keterbatasan kemampuan berkembang, Keempat, kepincangan diantara berbagai perguruan tinggi, Kelima, distribusi yang tidak seimbang dalam bidang-bidang ilmu yang disediakan perguruan tinggi.[6] Menurut Amijaya juga terdapat lima cara dalam menyelesaikan masalah tersebut: Pertama, peningkatan produktivitas perguruan tinggi, Kedua, peningkatan daya tampung, Ketiga, peningkatan pelayanan pada masyarakat, Keempat, peningkatan bidang keilmuan eksakta dan iptek, Kelima, peningkatan kemampuan berkembang.

Perguruan tinggi memiliki pengaruh  terhadap permasalahan sosial. Perguruan tinggi dapat mempengaruhi masyarakat modern, dan pergurun tinggi akan melahirkan pemimpin-pemimpin masa depan.[7] Pendidikan tinggi memiliki peran khusus dalam menjalankan ideologi sebuah masyarakat. Perguruan tinggi merepresentasikan kebutuhan negara, masyarakat dan pemodal yang menggunakan keahlian profesional.[8] Dalam konsep neo liberal, menurut Levidow perguruan tinggi memiliki sinonim yang sama dengan pelatihan bagi pekerja. Maka dibutuhkan perguruan tinggi yang menyediakan human capital. Kerja para sarjana untuk menjadi pekerja produktif yang menaikkan efisiensi dan pelayanan ekonomi, untuk mencapai persaingan ekonomi.

Perguruan tinggi pada dasarnya merupakan sebuah lembaga idealis dan bersifat nirlaba yang tidak hanya mempersiapkan kader bangsa dan mengembangkan ilmu pengetahuan, namun juga memiliki nilai-nilai yang diperjuangkan.[9] Oleh karena itu di sebuah perguruan tinggi tidak hanya dikembangkan sebuah konsep ilmiah, namun di dalamnya juga terdapat tuntutan ideologis, apakah hal yang bersifat agama bahkan mazhab. Inilah yang membedakan perguruan tinggi dan sebuah pasar yang sangat dinamis, di perguruan tinggi terdapat sebuah idalisme yang kokoh.

D.  Kebijakan Pokok Pembangunan Pendidikan Tinggi

Program pembangunan pendidikan tinggi bertujuan, pertama meningkatkan pemerataan dan perluasan akses bagi semua warga Negara melalui program-program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doctor,  kedua meningkatkan mutu relevansi dan daya saing pendidikan tinggi dalam rangka menjawab kebutuhan pasar kerja serta pengembangan iptek untuk memberikan sumbangan secara optimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan daya saing bangsa, ketiga meningkatkan kinerja perguruan tinggi dengan jalan meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan layanan pendidikan tinggi secara otonom melalui Badan Hukum Perguruan Tinggi (BHPT).

1.   Pemerataan Dan Perluasan Akses

  • Pemberian bantuan pembiayaan untuk kelompok masyarakat miskin tetapi potensial agar dapat belajar di perguruan tinggi. 
  • Membangun kemitraan antara LPTK dengan sekolah, untuk memeperluas kapasitas dalam menghasilkan guru yang dapat mencukupi. 
  • Pengembangan pembelajaran jarak jauh (distance learning) di perguruan tinggi, dengan proyek percontohan pada empat perguruan tinggi hingga tahun 2009 sekarang,  yaitu UI, UNRI, UNDANA, UNHAS. Deseminasi proyek ini akan dikembangkan pada UNLAM, UNM, UNHALU, UNCEN. 
  • Pemerataan perluasan akses pendidikan tinggi mentargetkan pencapaian jumlah mahasiswa sebesar 4,5 juta tahun 2009, APK diharapkan dapat ditingkatkan dari 14.62% pada tahun 2004 menjadi 18,00% pada tahun 2009 (Diknas, 2006).

2.   Peningkatan Mutu, Relevansi Dan Daya Saing

  • Peningkatan pelayanan pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat, sesuai tridarma perguruan tinggi. 
  • Pengembangan kurikulum dan pembelajaran efektif dalam kelompok mata kuliah, iman dan takwa serta akhlak mulia, iptek, estetka, serta kepribadian. 
  • Pengembangan community college, model pendidikan kejuruan/vokasi yang fleksibel. Penyediaan tenaga terampil untuk kebutuhan industri local, nasional dan multinasional, serta pngembangan kewirausahaan. 
  • Target-target yang ingin dicapai dalam pelaksanaan program peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan tinggi adalah sebagai berikut:
  1.  Peningkatan jumlah program stusi di perguruan tinggi yang diakreditasi A dan B dari 1000 proGram studi pada tahun 2005 menjadi 3000 program studi pada tahun 2009. akan dikembangkan pula program studi yang bertarap internasional. 
  2. Peningkatan efektifitas waktu studi sehinga kelulusan tepat waktu. 
  3. Mengupayakan untuk mencapai ratio keluaran terhadap jumlah mahasiswa (enrollment) secara keseluruhan menjadi 20%. 
  4. Lama waktu menunggu setelah lulus pada keahlian tertentu dapat dipersingkat 6 bulan, mencapai 40%. 
  5. Peningkatan kualitas daya saing di tingakt asia 4 perguruan tingi masuk 100 besar dan 500 besar perguruan tinggi dunia. 
  6. Peningkatan status perguruan tinggi negeri menjadi 50% yang berbadan humum tahun 2009, dan 40% pergruan tinggi swasta. 
  7. Penataan proporsi bidang ilmu IPA : IPS/Hunaniora yang pada tahun 2004 berbanding sebagai 30 : 70, dupayakan untuk tahun 2009 menjadi (50 : 50). Untuk PTN dan (35:65) untuk PTS. 
  8. Peningkatan kualifikasi dosen berpendidikan S2/S3 yang baru mencapai 54,55% untuk PTN dan 34,50%, untuk PTS pada tahun 2004,  menjadi 85% untuk PTN dan 55% untuk PTS pada tahun 2009. Disamping itu jumlah guru besar yang baru mencapai 3% pada tahun 2004, diupayalan dapat mencapai 10% dari jumlah dosen yang ada pada PTN pada tahun 2009. 
  9. Pelatihan tenaga teknis di perguruan tingi pada jangka waktu 5 tahun kedepan diupayakan mencpai 100 jenis pelatrihan fungsional, yang menjangkau 7.500 personil pendidikan tinggi dengan rincian 70% dari PTN dan 30%dari PTS. 
  10. Pelaksanaan penelitian untuk 5 tahun kedepan mencapai 10% dari seluruh anggaran ditjen Dikti. 
  11. ICT literacy (kemampuan akses, memanfaatkan dan menggunakan radio, televise, computer dan internet) 80% untuk kalangan mahasiswa dan dosen. 
  12. Pembangunan dan pembaharuan infrastruktuR pendidikan tinggi sehingga tercapai pemenuhan criteria rastio tung kuliah 2m2 permahasiswa, ratio ruang laboratorium 9 m2 permahasiswa, ruang dosen 9 m2 per dosen. 
  13. Peningkatan kapasiatas dan efektifitas layanan perpustakaan mencapai 80% dari mata kuliah yang ditawarkan perguruan tinggi, dan layanan kepustakaan mencapai 40 jam per minggu.

3.   Penguatan Tata Kelola, Akuntabilitas dan Pencitraan Public

Program peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan public akan dilaksanakan melalui penyusunan perangkat hukum operasional dalam pengembangan perguruan tinggi untuk mencapai status BHPT, sebagai perguruan tinggi otonom dan akuntabel, serta bersifat nirlaba. Ditargetkan sebanyak 50% PTN dan 40% PTS akan berstatus BHPT pada tahun 2009. penyelenggaraan pendidikan tinggi perlu mengembangkan vitalisasi internal audit. Salah satu manfaat yang akan diperoleh dengan model BHPT adalah terbangunnya kelembagaan yang lebih kondusif untuk menciptakan keterbukaan pengelolaan, sehingga manjadi lebih transparan dan akuntabel. Kondisi ini akan mendorong peningkatan partisiasi melalui pembiyaan, control dan pengelolaan. Peningakatan kapasitas satuan perguruan tinggi dilakukan melalui berbagai program hibah kompetisi, program kemitraan, hibah penelitian, P3AI. Peningkatan kapasitas pengelolaan akan ditunjang dengan penerapan ICT.

Berdasarkan kebijakan pokok pembangunan pendidikan di atas maka dapat dikatakan bahwa perguruan tingi ke depan memiliki tantangan yang semakin berat. Terutama dalam peningkatan kualitas serta relevansi dengan kebutuhan lapangan kerja.  Pembangunan bidang pendidikan tinggi berdasarkan peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang standarisasi nasional pendidikan memiliki sejumlah indicator yang harus dipenuhi jika tidak ingin perguruan tinggi tersebut itu ditinggalkan. Standar tersebut meliputi, standard isi, standar proses, standar keompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana, standar pengelolaan, serta standar penilaian pendidikan  Pendidikan tinggi perlu melakukan reformasi manejmen agar dapat bersaing dengan perguruan tingi lain yang lebih maju.  STAIN Kendari sebagai salah satu lembaga pendidikan tinggi Islam perlu melakukan reformasi manajemen untuk meningkatkan mutu dan kulaitas kelembagaan agar berdaya saing global. Peningkatan status menjadi Institut/Universitas merupakan satu alternative tersebut, jika tidak akan mengalami ketinggalan, bahkan likuidasi atau marjer dengan perguruan tinggi lain.

Beberapa contoh analisis kebijakan dalam bidang pendidikan nasional yang telah dirumuskan dalan rencana strategis pembangunan bidang pendidikan nasional tahun 2005-2009. dan tahun 2010-2025. Kebijakan strategis pengembangan bidang pendidikan nasional 2005-2009 dengan tema “Peningkatan Kapasitas dan Modernisasi”. Tema ini melahirkan  tiga kebijakan utama dalam pengembangan pendidikan nasional yaitu. (1) Pemerataan dan perluasan akses pendidikan, (2) Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing,  (3) serta penguatan pengelolaan, akuntabilitas dan pencitraan publik.[10]

E.  Analisis Kebijakan Pendidikan Tinggi Islam

Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (dulu Perguruan Tinggi Agama Islam) sejak awal berdirinya didesain sebagai lembaga pendidikan tinggi khusus bidang kajian keagamaan (keislaman). Hal ini dapat dilihat dari penamaan Fakultas, seperti Tarbiyah, Syari’ah, Ushuludin, Dakwah dan sebaganya. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, mulailah dimasukkan jurusan umum terutama di Fakultas Tarbiyah seperti Pendidikan Matematika, Pendidikan Biologi, Pendidikan Bahasa Inggris dalam rumpun Jurusan Tadris. Di era reformasi dengan mulus dilakukan program integrasi ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu umum untuk menepis adanya dikotomi ilmu dalam tubuh PTKI. Berubahlah IAIN menjadi umum dengan membuka Fakultas umum yang terintegrasi dengan Fakultas ilmu-ilmu kegamaan seperti Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Fakultas Hukum dan Syari’ah dan lain-lain.

Muhaimin[11] menyatakan pentingnya model pengembangan pendidikan LPTKI dengan bertolak pada tiga asumsi sebagai berikut:

Pertama: perlu memposisikan mahasiswa (calon guru) sebagai santri di LPTKI, guna membina seperangkat kepribadian terkait dengan model atau sentral identifikasi diri, atau menjadi pusat anutan dan teladan serta konsultan bagi peserta didiknya. Sebagai santri ia akan berusaha meneladani dan mengikuti jejak dosennya (kyainya) terutama dari segi etos belajarnya, etos mengajarnya, etos pengembangan keilmuannya, dedikasinya, maupun etos amaliah ibadahnya dan perilaku sehari-hari. Sebagai implikasinya LPTKI seyogyanya mampu menciptakan suasana yang kondusif bagi terwujudnya transinternalisasi nilai-nilai atau berbagai etos tersebut antara lain dengan program shalat berjamaah, membaca Al-Qur’an, puasa sunnah, saling menghargai, menjaga kebersihan dan lain-lain.

Kedua, perlu memposisikan mahasiswa (calon guru) sebagai thalib al ‘ilm di LPTKI yang berarti orang yang selalu berusaha mendapatkan, mencari, meminta, menginginkan sesuatu, mengajukan permohonan keilmuan kepada dosennya baik teoritis maupun praktis. Sebagai implikasinya maka LPTKI harus lebih profesioal dalam memberikan layanan ilmu tersebut.

Ketiga, perlu menciptakan interaksi mendidik di LPTKI terutama antara tenaga kendidikan (staf administrasi, pustakawan, laboran) dan semua yang erlibat dalam proses.

 

KESIMPULAN

  1. Analisis kebijakan pendidikan adalah suatu disiplin ilmu yang berusaha menghasilkan dan mendayagunakan informasi dengan metode tertentu, sesuai kebijakan yang disoroti, dan berhubungan dengan pengambilan keputusan politik dalam proses pembuatan keputusan publik. 
  2. Kebijakan strategis dalam pengembangan pendidikan nasional kaitannya dengan analisis kebijakan pendidikan saat ini terfokus pada tiga persoalan pokok, yaitu (1) pemerataan dan perluasan  akses pendidikan, (2) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing,  (3) penguatan pengelolaan, akuntabilitas, dan pencitraan public.


DAFTAR PUSTAKA

D.A. Tisna Amijaya, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1976-1985, (Jakarta: Dirjen Dikti, 1976), sebagaimana dalam Azyumardi Azra, IAIN di Tengah Paradigma Baru Perguruan Tinggi, dalam Komaruddin Hidayat (ed.), Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam, Jakarta: Depag RI, 2000.

Departemen Pendidikan Nasional, Ringkasan Eksekutif Renstra, Menuju Pembangunan Pendidikan Nasional Jangka Panjang 2025, Versi Revisi, Jakarta: Depdiknas. 2006.

Departemen Pendidikan Nasional, Perencanaan Strategis Pendidikan Nasional tahun 2005-2009, Jakarta, Depdiknas, 2006.

H.A.R. Tilaar dan Suryadi, Analisis Kebijakan Pendidikan, Sebuah Pengantar, Bandung: Rosdakarya, 1994.

Les Levidow, Marketizing Higher Education: Neoliberal Strategies and Counter-Strategies, http://www.thecommoner.org, January 2002,

M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, Bandung: Mizan, 1999.

Muhaimin, 2004, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam,Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Richard,G. Kraine,  Islamic Higher Education and Social Cohesion in Indonesia, Center for International Studies, Ohio University, USA: Springer, 2007

Soetjipto, Analisis Kebijakan Pendidikan Pendidikan, Suatu Pengantar, Jakarta: Depdikbud. 1997.


 [1] Departemen Pendidikan Nasional, 2006, Ringkasan Eksekutif Renstra, Menuju Pembangunan Pendidikan Nasional Jangka Panjang 2025, Versi Revisi, Jakarta. Depdiknas. Hal. 09


[2] H.A.R. Tilaar dan Suryadi, Analisis Kebijakan Pendidikan, Sebuah Pengantar, (Bandung: Rosdakarya, 1994), Hal 40

[3] Ibid, hal. 42

[4] Ibid, hal. 46

[5] Soetjipto, 1997, Analisis Kebijakan Pendidikan Pendidikan, Suatu Pengantar, Jakarta: Depdikbud. Hal. 22


[6] D.A. Tisna Amijaya, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1976-1985, (Jakarta: Dirjen Dikti, 1976), sebagaimana dalam Azyumardi Azra, IAIN di Tengah Paradigma Baru Perguruan Tinggi, dalam Komaruddin Hidayat (ed.), Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam, (Jakarta: Depag RI, 2000), hlm.4-5.

[7] Richard,G. Kraine,  Islamic Higher Education and Social Cohesion in Indonesia, Center for International Studies, Ohio University, USA: Springer, 2007

[8] Les Levidow, Marketizing Higher Education: Neoliberal Strategies and Counter-Strategies, http://www.thecommoner.org, January 2002, hlm. 1.

[9] M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 360.

[10] Departemen Pendidikan Nasional, 2006, Rencanan Strategis Pendidikan Nasional tahun 2005-2009, Jakarta, Depdiknas. Hal. 9

[11] Muhaimin, 2004, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 217-220

 

Semoga bermanfaat...




Post a Comment for "Konsep Dasar Analisis Kebijakan Pendidikan Tinggi"