Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN

PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN

 

A. PENDAHULUAN


1. Latar Belakang

Pendidikan pada hakekatnya adalah proses perubahan. Dan dalam proses perubahan itu, pendidikan harus mampu memberikan sumbangan optimal bagi transformasi menuju terwujudnya masyarakat madani. Pendidikan juga diharapkan mampu menunjang kelangsungan dan proses kemajuan hidup masyarakat.

Sebagai proses belajar, pendidikan harus mampu menghasilkan individu dan masyarakat religius yang secara personal memiliki integritas dan kecerdasan. Sebagai proses ekonomi, pendidikan merupakan suatu investasi yang dalam tingkat tertentu harus memberi keuntungan. Sedangkan sebagai proses sosial-budaya, pendidikan merupakan bagian integral dari proses sosial-budaya yang berlangsung terus tanpa akhir.

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989 menetapkan bahwa segala kegiatan pendidikan di Indonesia dilaksanakan dalam suatu sistem yang mengupayakan secara maksimal tercapainya tujuan pendidikan Nasional, yaitu mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia, baik sosial, intelektual, spiritual, maupun kemampuan profesional.

Namun, permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia masih terus meningkat. Salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan Nasional, baik melalui pengembangan kurikulum Nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui pendidikan dan pelatihan-pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, bahkan juga peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti.

Melihat kenyataan yang ada, pendidikan perlu dirumuskan dengan baik. Penyelenggaraan pendidikan perlu memperhatikan karakteristik, aspirasi, dan kebutuhan masyarakat. Pendidikan hendaknya mampu memberikan respon kontekstual sesuai dengan orientasi pembangunan daerah. Ini berarti bahwa perumusan kebijakan dan pembuatan keputusan-keputusan pendidikan hendaknya memperhatikan aspirasi yang berkembang di dalam masyarakat.

Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan. Kebijakan pendidikan juga harus dibuat atau dirumuskan oleh para ahli di bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tidak menimbulkan kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan.

Seperti yang diungkapkan oleh HAR Tilaar, perumusan kebijakan pendidikan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan peserta didik dan bukan kepuasan birokrat. Titik tolak dari segala kebijakan pendidikan adalah untuk kepentingan peserta didik atau pemerdekaan peserta didik.[1]

Selain itu, dalam proses merumuskan kebijakan pendidikan ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan, dan makalah ini akan mengupas secara lengkap bagaimana proses perumusan kebijakan pendidikan yang diawali dengan pengertian kebijakan, pengertian kebijakan pendidikan, Aspek-aspek yang tercakup dalam Kebijakan Pendidikan, Kriteria Kebijakan Pendidikan, dan Proses Perumusan Kebijakan pendidikan.


2. Rumusan Masalah

  1. Apa Pengertian Kebijakan? 
  2. Apa Pengertian Kebijakan Pendidikan? 
  3. Apa Saja Aspek-Aspek Yang Tercakup Dalam Kebijakan Pendidikan? 
  4. Apa Saja Kriteria Kebijakan Pendidikan? 
  5. Bagaimana Proses Perumusan Kebijakan Pendidikan?

3. Tujuan Penulisan

  1. Untuk Menganalisis Apa Pengertian Kebijakan
  2. Untuk Menganalisis Apa Pengertian Kebijakan Pendidikan
  3. Untuk Menganalisis Apa Saja Aspek-Aspek Yang Tercakup Dalam Kebijakan Pendidikan
  4. Untuk Menganalisis Apa Saja Kriteria Kebijakan Pendidikan
  5. Untuk Menganalisis Bagaimana Proses Perumusan Kebijakan Pendidikan

PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Kebijakan

Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor swasta, serta individu. Di dalam bahasa Inggris kebijakan disebut “policy”. Kebijakan juga dapat diartikan sebagai mekanisme politis, manajemen, atau administratif untuk mencapai suatu tujuan.

Kebijakan menurut Anderson yang dikutip oleh Ali Imron mengemukakan bahwa kebijakan adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang mesti diikuti oleh para pelakunya untuk memecahkan suatu masalah.[2] Sementara Budiarjo berpendapat bahwa kebijakan adalah sekumpulan keputusan yang diambil oleh seseorang pelaku atau kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.[3]

Pengertian di atas menunjukkan bahwa pihak-pihak yang membuat kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya. Kebijakan tersebut merupakan aturan-aturan yang semestinya dan harus diikuti tanpa pandang bulu, mengikat siapa pun yang dimaksud untuk diikat oleh kebijakan tersebut.

Menurut Hoogerwerf pada hakekatnya kebijakan adalah semacam jawaban terhadap suatu masalah, yaitu upaya untuk memecahkan, mengurangi, mencegah suatu masalah dengan cara tertentu, yaitu dengan tindakan yang terarah. James E. Anderson[4], memberikan rumusan kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.

Sedangkan menurut Aminullah yang dikutip oleh Edi Suharto[5], menyatakan bahwa: “kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem pencapaian tujuan yang diinginkan, upaya dan tindakan dimaksud bersifat strategis yaitu berjangka panjang dan menyeluruh”.

       Kebijakan secara umum dapat dibedakan dalam tiga tingkatan:

  1. Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan. 
  2. Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum, sedangkan untuk tingkat pusat menggunakan Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang. 
  3. Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.

Proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu politisasi suatu permasalahan (penyusunan agenda), perumusan dan pengesahan program, pelaksanaan program, serta monitoring dan evaluasi pelaksanaan program.[6]

Sedangkan aktivitas pemerintah yang menyangkut kebijakan meliputi dua hal, Pertama; sejumlah aktivitas dan proses yang menghasilkan suatu rumusan kebijakan (pernyataan mengenai tujuan yang hendak dicapai) yang menyangkut intern pemerintahan maupun yang menyangkut masyarakat umum. Kedua; pelaksanaan kebijakan yang mencakup upaya-upaya penyediaan sumber daya bagi pelaksana kebijakan, membuat peraturan, dan petunjuk pelaksanaan, menyusun rencana detail kegiatan, pengorganisasian pelaksanaan, dan memberikan pelayanan dan kemanfaatan.

Sementara itu, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kebijakan, yaitu lingkungan, persepsi pembuat kebijakan mengenai lingkungan, aktivitas pemerintah perihal kebijakan, dan aktivitas masyarakat perihal kebijakan.[7] Lingkungan dikelompokkan ke dalam tiga kategori. Pertama, lingkungan umum di luar pemerintahan dalam arti pola-pola yang melibatkan faktor sosial, ekonomi, politik, sistem kepercayaan, dan nilai-nilai, seperti pola pengangguran, pola-pola partisipasi politik, dan urbanisasi. Kedua, lingkungan di dalam pemerintah dalam arti struktural, seperti karakteristik birokratis, dan personil berbagai departemen dan karakteristik berbagai komisi, dan para anggota dalam badan perwakilan rakyat maupun dalam arti proses, seperti karakteristik pembuatan keputusan di berbagai departemen dan badan perwakilan rakyat. Ketiga, lingkungan khusus dari kebijakan tertentu. Suatu kebijakan akan dipengaruhi oleh kebijakan yang dibuat sebelumnya.

Ketiga jenis lingkungan ini akan mempengaruhi proses dan isi kebijakan. Kemudian, agar kebijakan tetap terfokus pada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, para pembuat kebijakan biasanya dipandu oleh pertanyaan-pertanyaan seperti: Apa maksud atau fungsi sebuah kebijakan? Bagaimana kebijakan itu akan mempengaruhi agenda pemerintah secara keseluruhan? Apa dan bagaimana hubungan antara alat-alat implementasi dengan tujuan-tujuan kebijakan? Bagaimana kebijakan ini berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang lainnya? Dapatkah kebijakan yang baru itu menghasilkan perbedaan seperti yang diharapkan?

Pertanyaan kebijakan semacam itu merupakan pedoman dalam melaksanakan program dan dipakai untuk menganalisis kebijakan yang dibuat. Kebijakan merupakan kehendak yang bersifat umum dan merupakan arah serta petunjuk penyusunan program.

Dari beberapa penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kebijakan adalah konsep yang menjadi pedoman dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Kebijakan adalah jawaban terhadap suatu masalah. Dan dalam merumuskan suatu kebijakan, pemerintah harus bijaksana sehingga apapun kebijakan yang dibuat tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari.

2. Pengertian Kebijakan Pendidikan

Pendidikan berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedagogie yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan education yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab, istilah ini sering diterjemahkan dengan tarbiyah yang berarti pendidikan.[8]

Dalam perkembangannya, istilah pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap peserta didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi.

Bila kata kebijakan dikaitkan dengan kata pendidikan maka akan menjadi kebijakan pendidikan (educational policy). Pengertian kebijakan pendidikan sebagaimana dikutip oleh Ali Imran dari Carter V. Good bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu pertimbangan yang didasarkan atas sistem nilai dan beberapa penilaian terhadap faktor-faktor yang bersifat situsional. Pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengoperasikan pendidikan yang bersifat melembaga serta merupakan perencanaan umum yang dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil keputusan agar tujuan yang bersifat melembaga dapat tercapai.[9]

Kebijakan pendidikan merupakan salah satu kebijakan negara di samping kebijakan-kebijakan lainnya seperti ekonomi, politik, pertahanan, agama, dan sebagainya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebijakan pendidikan  merupakan sub sistem dari kebijakan negara atau pemerintah secara keseluruhan.

Ensiklopedia menyebutkan bahwa kebijakan pendidikan berkenaan dengan kumpulan hukum atau aturan yang mengatur pelaksanaan sistem pendidikan, yang tercakup di dalamnya tujuan pendidikan dan bagaimana mencapai tujuan tersebut.

Mark Olsen & Anne-Maie O’Neil yang dikutip oleh Riant Nugroho mendefenisikan kebijakan pendidikan sebagai kunci bagi keunggulan, bahkan eksistensi bagi negara dalam persaingan global, sehingga kebijakan pendidikan perlu mendapatkan prioritas utama dalam era globalisasi. Salah satu argument utamanya adalah bahwa globalisasi membawa nilai demokrasi. Demokrasi yang memberikan hasil adalah demokrasi yang didukung oleh pendidikan.[10] Sedangkan Marget E. Goertz mengemukakan bahwa kebijakan pendidikan berkenaan dengan efisiensi dan efektivitas anggaran pendidikan.[11] Kebijakan pendidikan merupakan hasil dari keputusan yang diambil dengan mempertimbangkan kaitan pendidikan dengan komponen sosial yang lain.

Kebijakan pendidikan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam pendidikan atau organisasi atau sekolah dengan masyarakat dan pemerintah  untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak bagi pengambilan keputusan pada semua jenjang pendidikan atau organisasi.

Dapat disimpulkan bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu produk yang dijadikan sebagai panduan pengambilan keputusan pendidikan yang legal-netral dan disesuaikan dengan lingkungan hidup pendidikan secara moderat. Kebijakan pendidikan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam pendidikan atau organisasi atau sekolah dengan masyarakat dan pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak bagi pengambilan keputusan pada semua jenjang pendidikan atau organisasi.


3. Aspek-aspek Yang Tercakup Dalam Kebijakan Pendidikan

Aspek-aspek yang tercakup dalam kebijakan pendidikan menurut H.A.R Tilaar & Riant Nugroho dalam Arif Rohman adalah sebagai berikut:[12]

  1. Kebijakan pendidikan merupakan suatu keseluruhan mengenai hakikat manusia sebagai makhluk yang menjadi manusia dalam lingkungan kemanusiaan. Kebijakan pendidikan merupakan penjabaran dari visi dan misi dari pendidikan dalam masyarakat tertentu. 
  2. Kebijakan pendidikan dilahirkan dari ilmu pendidikan sebagai ilmu praktis yaitu kesatuan antara teori dan praktik pendidikan. Kebijakan pendidikan meliputi proses analisis kebijakan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan evaluasi. 
  3. Kebijakan pendidikan haruslah mempunyai validitas dalam perkembangan pribadi serta masyarakat yang memiliki pendidikan itu. Bagi perkembangan individu, validitas kebijakan pendidikan tampak dalam sumbangannya bagi proses pemerdekaan individu dalam pengembangan pribadinya. 
  4. Keterbukaan (openness). Proses pendidikan sebagai proses pemanusiaan terjadi dalam interaksi sosial. Hal ini berarti bahwa pendidikan itu merupakan milik masyarakat. Apabila pendidikan itu merupakan milik masyarakat maka suara masyarakat dalam berbagai tingkat perumusan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan pendidikan perlu mendengar suara atau saran-saran dari masyarakat. 
  5. Kebijakan pendidikan didukung oleh riset dan pengembangan. Suatu kebijakan pendidikan bukanlah suatu yang abstrak tetapi yang dapat diimplementasikan. Suatu kebijakan pendidikan merupakan pilihan dari berbagai alternatif kebijakan sehingga perlu dilihat output dari kebijakan tersebut dalam praktik. 
  6. Analisis kebijakan sebagaimana pula dengan berbagai jenis kebijakan seperti kebijakan ekonomi, kebijakan pertahanan nasional dan semua jenis kebijakan dalam kebijakan publik memerlukan analisis kebijakan. 
  7. Kebijakan pendidikan pertama-tama ditujukan kepada kebutuhan peserta didik. Kebijakan pendidikan seharusnya diarahkan pada terbentuknya para intelektual organik yang menjadi agen-agen pembaharuan dalam masyarakat bangsanya. 
  8. Kebijakan pendidikan diarahkan pada terbentuknya masyarakat demokratis. Peserta didik akan berdiri sendiri dan mengembangkan pribadinya sebagai pribadi yang kreatif pendukung dan pelaku dalam perubahan masyarakatnya. Kebijakan pendidikan haruslah memfasilitasi dialog dan interaksi dari peserta didik dan pendidik, peserta didik dengan masyarakat, peserta didik dengan negaranya dan pada akhirnya peserta didik dengan kemanusiaan global. 
  9. Kebijakan pendidikan berkaitan dengan penjabaran misi pendidikan dalam pencapaian tujuan-tujuan tertentu. Apabila visi pendidikan mencakup rumusan-rumusan yang abstrak, maka misi pendidikan lebih terarah pada pencapaian tujuan-tujuan pendidikan yang konkret. Kebijakan pendidikan merupakan hal yang dinamis yang terus menerus berubah namun terarah dengan jelas. 
  10. Kebijakan pendidikan harus berdasarkan efisiensi. Kebijakan pendidikan bukan semata-mata berupa rumusan verbal mengenai tingkah laku dalam pelaksanaan praksis pendidikan. Kebijakan pendidikan harus dilaksanakan dalam masyarakat, dalam lembagalembaga pendidikan. Kebijakan pendidikan yang baik adalah kebijakan pendidikan yang memperhitungkan kemampuan di lapangan, oleh sebab itu pertimbangan-pertimbangan kemampuan tenaga, tersedianya dana, pelaksanaan yang bertahap serta didukung oleh kemampuan riset dan pengembangan merupakan syarat-syarat bagi kebijakan pendidikan yang efisien. 
  11. Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan pada kekuasaan tetapi kepada kebutuhan peserta didik. Telah kita lihat bahwa pendidikan sangat erat dengan kekuasaan. Menyadari hal itu, sebaiknya kekuasaan itu diarahkan bukan untuk menguasai peserta didik tetapi kekuasaan untuk memfasilitasi dalam pengembangan kemerdekaan peserta didik. Kekuasaan pendidikan dalam konteks masyarakat demokratis bukannya untuk menguasai peserta didik, tetapi kekuasaan untuk memfasilitasi tumbuh kembang peserta didik sebagai anggota masyarakat yang kreatif dan produktif. 
  12. Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan intiusi atau kebijaksanaan yang irasional. Kebijakan pendidikan merupakan hasil olahan rasional dari berbagai alternatif dengan mengambil keputusan yang dianggap paling efisien dan efektif dengan memperhitungkan berbagai jenis resiko serta jalan keluar bagi pemecahannya. Kebijakan pendidikan yang intuitif akan tepat arah namun tidak efisien dan tidak jelas arah sehingga melahirkan pemborosan-pemborosan. Selain itu kebijakan intuitif tidak perlu ditopang oleh riset dan pengembangannya. Verifikasi terhadap kebijakan pendidikan intuitif akan sulit dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu sehingga bersifat sangat tidak efisien. Kebijakan intuitif akan menjadikan peserta didik sebagai kelinci percobaan. 
  13. Kejelasan tujuan akan melahirkan kebijakan pendidikan yang tepat. Kebijakan pendidikan yang kurang jelas arahnya akan mengorbankan kepentingan peserta didik. Seperti yang telah dijelaskan, proses pendidikan adalah proses yang menghormati kebebasan peserta didik. Peserta didik bukanlah objek dari suatu projek pendidikan tetapi subjek dengan nilai-nilai moralnya.


4. Kriteria Kebijakan Pendidikan

Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus yakni:[13]

1.  Memiliki tujuan pendidikan

Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan.

2.  Memiliki aspek legal-formal

Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut.

3.  Memiliki konsep operasional

Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.

4.  Dibuat oleh yang berwenang

Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tidak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan. Para administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.

5.  Dapat dievaluasi

Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk ditindaklanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi terhadapnya secara mudah dan efektif.

6.  Memiliki sistematika

Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem juga, oleh karenanya harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya. Sistematika itu pun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi yang tinggi agar kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh strukturnya akibat serangkaian faktor yang hilang atau saling berbenturan satu sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudian, secara eksternal pun kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya seperti kebijakan politik, kebijakan moneter, bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau disamping dan dibawahnya.


5. Pendekatan dalam Perumusan Kebijakan Pendidikan

1.  Pendekatan Social Demand Approach (kebutuhan sosial)

 Sosial demand approach adalah suatu pendekatan dalam perumusan kebijakan pendidikan yang mendasarkan diri pada aspirasi, tuntutan, serta aneka kepentingan yang didesakkan oleh masyarakat.

Pada jenis pendekatan jenis ini para pengambil kebijakanakan lebih dahulu menyelami dan mendeteksi terhadap aspirasi yang berkembang dalam masyarakat sebelum mereka merumuskan kebijakan pendidikan yang ditanganinya. Pendekatan social demand sebenarnya tidak semata-mata merespon aspirasi masyarakat sebelum dirumuskannya kebijakan pendidikan, akan tetapi juga merespon tuntutan masyarakat sertelah kebijakan pendidikan diimplementasikan. Partisipasi warga dari seluruh lapisan masyarakat diharapkan terjadi baik pada masa perumusan maupun implementasi kebijakan pendidikan. Dalam perumusan kebijakan dapat digolongakan ke dalam tipe perumusan kebijakan yang bersifat pasif. Artinya suatu kebijakan baru dapat dirumuskan apabila ada tuntutan dari masyarakat terlebih dahulu.

2.  Pendekatan Man-Power Approach

Pendekatan jenis ini lebih menitikberatkan kepada pertimbangan- pertimbangan rasional dalam rangka menciptakan ketersediaan sumberdaya manusia (human resources) yang memadai di masyarakat. Pendekatan man-power ini tidak melihat apakah ada permintaan dari masyarakat atau tidak, apakah masyarakat menuntut untuk dibuatkan suatu kebijakan pendidikan tertentu atau tidak, tetapi  yang terpenting adalah menurut pertimbangan-pertimbangan rasional dan visioner dari sudut pandang pengambil kebijakan. Pemerintah sebagai pemimpin yang berwenang merumuskan suatu kebijakan memiliki legitimasi kuat untuk merumuskan kebijakan pendidikan. Dapat dipetik aspek penting dari pendekatan jenis kedua ini, bahwa secara umum lebih bersifat otoriter. 

Man-power approach kurang menghargai proses demokratis dalam perumusan kebijakan pendidikan, terbukti perumusan kebijakannya tidak diawali dari adanya aspirasi dan tuntutan masyarakat, akan tetapi langsung saja dirumuskan sesuai dengan tuntutan masa depan sebagaimana dilihat oleh sang pemimpin visioner. Terkesan adanya cara-cara otoriter dalam pendekatan jenis kedua ini. Namun dari sisi positifnya, dalam pendekatan man-power ini proses perumusan kebijakan pendidikan yang ada lebih berlangsung efisien dalam proses perumusannya, serta lebih berdimensi jangka panjang.[14]


6. Proses Perumusan Kebijakan Pendidikan

Sebagaimana yang telah penulis singgung di awal, kebijakan pendidikan merupakan bagian dari kebijakan publik. Perumusan (Formulasi) kebijakan publik merupakan salah satu tahap dari rangkaian proses pembuatan dan pelaksanaan suatu kebijakan publik. Menurut Dunn, perumusan kebijakan (policy formulation) adalah pengembangan dan sintesis terhadap alternatif-alternatif pemecahan masalah.[15]

Sedangkan Budi Winarno menyatakan bahwa masing-masing alternatif bersaing untuk di pilih sebagai kebijakan dalam rangka untuk memecahkan masalah.[16] Tjokroamidjojo dalam Islamy menyebutkan perumusan kebijakan sebagai alternatif yang terus menerus dilakukan dan tidak pernah selesai, dalam memahami proses perumusan kebijakan kita perlu memahami aktor-aktor yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan.[17]

Penetapan tujuan merupakan langkah utama dalam sebuah proses lingkaran pembuatan kebijakan. Penerapan tujuan juga merupakan kegiatan yang paling penting karena hanya tujuanlah yang dapat memberikan arah dan alasan kepada pilihan-pilihan publik.

Dalam kenyataannya, pembuat kebijakan seringkali kehilangan arah dalam menetapkan tujuan-tujuan kebijakan. Solusi kerapkali dipandang lebih penting daripada masalah. Padahal yang terjadi seringkali sebaliknya dimana sebuah solusi yang baik akan gagal jika diterapkan pada masalah yang salah.[18]

Berdasarkan pengertian pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa formulasi kebijakan merupakan cara untuk memecahkan suatu masalah yang di bentuk oleh para aktor pembuat kebijakan dalam menyelesaikan masalah yang ada dan dari sekian banyak alternatif pemecahan yang ada maka dipilih alternatif kebijakan yang terbaik.

Proses perumusan kebijakan yang efektif memperhatikan keselarasan antara usulan kebijakan dengan agenda dan strategi besar (grand design) pemerintah. Melalui konsultasi dan interaksi, tahapan perumusan kebijakan menekankan konsistensi sehingga kebijakan yang baru tidak bertentangan dengan agenda dan program pemerintah yang sedang dilaksanakan.

Kemudian menurut Islamy dalam buku Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara mengemukakan pendapatnya bahwa ada empat langkah dalam proses pengambilan kebijakan publik, yaitu:[19]

1. Perumusan Masalah (defining problem).

Pemahaman terhadap masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiaognosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan yang bertentangan dan rancangan peluang kebijakan baru. Perumusan masalah merupakan sumber dari kebijakan publik, dengan pemahaman dan identifikasi masalah yang baik maka perencanaan kebijakan dapat di susun, perumusan masalah dilakukan oleh mereka yang terkena masalah atau orang lain yang mempunyai tanggung jawab dan pembuat kebijakan harus mempunyai kapasitas untuk itu. Proses kebijakan publik di mulai dengan kegiatan merumuskan masalah secara benar, karena keberhasilan atau kegagalan dalam melaksanakan perumusan kebijakan ini akan sangat berpengaruh pada proses pembuatan kegiatan ini akan sangat berpengaruh pada proses pembuatan kebijaksanaan seterusnya.


2. Agenda Kebijakan

Sekian banyak problema-problema umum yang muncul hanya sedikit yang mendapat perhatian dari pembuat kebijakan publik. Pilihan dan kecondongan perhatian pemuat kebijakan menyebabkan timbulnya agenda kebijakan. Sebelum masalah-masalah berkompotensi untuk masuk dalam agenda kebijakan, masalah tersebut akan berkompetisi dengan masalah yang lain yang pada akhirnya akan masuk dalam agenda kebijakan.


3. Pemilihan Alternatif Kebijakan untuk memecahkan Masalah

Setelah masalah-masalah publik didefinisikan dengan baik dan para perumus kebijakan sepakat untuk memasukan masalah tersebut ke dalam agenda kebijakan, maka langkah selanjutnya adalah membuat pemecahan masalah. Dalam tahap ini para perumus kebijakan akan berhadapan dengan alternatif-alternatif pilihan kebijakan untuk memecahkan masalah tersebut.


4. Tahap Penetapan Kebijakan

Setelah salah satu dari sekian alternatif kebijakan diputuskan, untuk di ambil sebagai cara memercahkan masalah kebijakan, maka tahap paling akhir dalam pembuat kebijakan adalah penetapan kebijakan, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Proses pembuatan kebijakan tidak dapat dipisahkan dengan proses penetapan atau pengesahan kebijakan. 

Dalam proses kebijakan pendidikan implementasi kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan jauh lebih penting dari pada pembuatan kebijakan. Implementasi kebijakan merupakan jembatan yang menghubungkan formulasi kebijakan dengan hasil (outcome) kebijakan yang diharapkan. Menurut Anderson dalam bukunya abdul wahab, ada 4 aspek yang perlu dikaji dalam implementasi kebijakan yaitu:

  1. Siapa yang mengimplementasikan 
  2. Hakekat dari proses administrasi 
  3. Kepatuhan, dan 
  4. Dampak dari pelaksanaan kebijakan.[20] .

Sementara itu menurut Ripley & Franklin, ada dua hal yang menjadi fokus perhatian dalam implementasi, yaitu compliance (kepatuhan) dan What’s happening? (Apa yang terjadi). Kepatuhan menunjuk pada apakah para implementor patuh terhadap prosedur atau standard aturan yang telah ditetapkan. Sementara untuk what’s happening” mempertanyakan bagaimana proses implementasi itu dilakukan, hambatan apa yang muncul, apa yang berhasil dicapai, mengapa dan sebagainya.

Guna melihat keberhasilan implementasi, dikenal beberapa model implementasi, antara lain model yang dikembangkan Mazmanian dan Sabatier yang menyatakan bahwa Implementasi kebijakan merupakan fungsi dari tiga variabel, yaitu 1) Karakteristik masalah, 2) Struktur manajemen program yang tercermin dalam berbagai macam peraturan yang mengoperasionalkan kebijakan, 3) Faktor-faktor di luar peraturan.

Menurut pandangan ahli-ahli dalam ilmu sosial, proses implementasi suatu kebijakan pendidikan berlangsung lebih rumit dan komplek dibandingkan dengan proses perumusannya. Proses implementasi pendidikan melibatkan perangkat politik, sosial, hukum, maupun organisasi dalam rangka mencapai suksesnya implementasi kebijakan pendidikan tersebut.


 
C. KESIMPULAN

  1. Kebijakan adalah konsep yang menjadi pedoman dalam melaksanakan suatu pekerjaan. 
  2. Kebijakan pendidikan adalah suatu produk yang dijadikan sebagai panduan pengambilan keputusan pendidikan yang disesuaikan dengan lingkungan hidup pendidikan secara moderat. Kebijakan pendidikan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam pendidikan atau organisasi atau sekolah dengan masyarakat dan pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak bagi pengambilan keputusan pada semua jenjang pendidikan atau organisasi. 
  3. Aspek-aspek yang tercakup dalam kebijakan pendidikan meliputi: a) Kebijakan pendidikan dilahirkan dari ilmu pendidikan, b) Keterbukaan (openness), c) Kebijakan pendidikan didukung oleh riset dan pengembangan, d) Kebijakan pendidikan diarahkan pada terbentuknya masyarakat demokratis, e) Kebijakan pendidikan berkaitan dengan penjabaran misi pendidikan dalam pencapaian tujuan-tujuan tertentu, f) Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan pada kekuasaan tetapi kepada kebutuhan peserta didik. 
  4. Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni: a) Memiliki tujuan pendidikan, b) Memenuhi aspek legal-formal, c)  Memiliki konsep operasional, d) Dibuat oleh yang berwenang, e) Dapat dievaluasi, f) Memiliki sistematika. 
  5. Proses perumusan kebijakan yang efektif memperhatikan keselarasan antara usulan kebijakan dengan agenda dan strategi besar (grand design) pemerintah. Melalui konsultasi dan interaksi, tahapan perumusan kebijakan menekankan konsistensi sehingga kebijakan yang baru tidak bertentangan dengan agenda dan program pemerintah yang sedang dilaksanakan. Dan dalam merumuskan suatu kebijakan, pemerintah harus bijaksana sehingga apapun kebijakan yang dibuat tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari.



DAFTAR PUSTAKA

  1. Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses, Produk, dan Masa Depannya, Ed.I, Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 2002. 
  2. Arif Rohman, Politik Ideologi Pendidikan, Yogyakarta: Mediatama, 2009. 
  3. Ali Imron, Pembinaan Guru Di Indonesia, Jakarta: Pustaka jaya, 1995. 
  4. Budi Winarno, Kebijakan Publik: Teori Dan Proses, Yogyakarta: Media Presindo, 2002. 
  5. Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Bandung: Refika Aditama, 2005. 
  6. HAR Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008 
  7. James E. Anderson, Public Policy Making, New York: Holt, Rinehart And Wiston, 1978. 
  8. M. Irfan Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Jakarta: Bumi aksara, 2002. 
  9. Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo, 1999. 
  10. Randal B. Ripley, Policy Analysis in Political Science, Chicago: Nelson-Hal Publishers, 1985. 
  11. Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, Jakarta: Kalam Mulia, 2009. 
  12. Riant Nugroho, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, Bandung: CV. Alfabeta, 2008. 
  13. Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijakan Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 1991. 
  14. William Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999.



[1] HAR Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 141-153
[2] Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses, Produk, dan Masa Depannya, Ed.I, Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 2002, hlm. 13.
[3] Ibid, hlm. 14.  
[4] James E. Anderson, Public Policy Making, (New York: Holt, Rinehart And Wiston, 1978), hal. 33
[5] Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, (Bandung: Refika aditama, 2005), hal. 4
[6] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 1999), hlm. 197-199
[7] Randal B. Ripley, Policy Analysis in Political Science, (Chicago: Nelson-Hal Publishers, 1985), hal. 34-48
[8] Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hal. 83
[9] Ali Imron, Op. Cit., hlm. 18.
[10] Riant Nugroho, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, (Bandung: CV. Alfabeta, 2008), hal. 36
[11] Ibid, hal. 37
[12] Arif Rohman, Politik Ideologi Pendidikan, (Yogyakarta: Mediatama, 2009), hal. 120
[13] Ali Imron, Pembinaan Guru Di Indonesia, (Jakarta: Pustaka jaya, 1995), hal. 20

[14] Arif Rohman, Op. Cit hal. 114-118.
[15] William Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999), hal. 132
[16] Budi Winarno, Kebijakan Publik: Teori Dan Proses, (Yogyakarta: Media Presindo, 2002), hal. 29
[17] M. Irfan Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, (Jakarta: Bumi aksara, 2002), hal. 24
[18] Edi Suharto, Op.Cit, hal. 53
[19] Islamy, Op.Cit, hal. 77-101
[20] Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijakan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 45

Lihat juga:

Buku Akuntansi Lengkap

Buku Manajemen  

Manajemen Keuangan edisi revisi Sutrisno 

Manajemen dalam konteks indonesia 

Buku metodologi penelitian lengkap 

Buku metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R&D 

Buku penelitian hukum 

Metode penelitian kualitatif Sugiyono 

Seri buku metode penelitian terlengkap 

 



Post a Comment for "PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN"