Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Aktualisasi Politik di Lingkungan Kementerian Agama

AKTUALISASI POLITIK DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN AGAMA

 

Contoh Makalah (Aktualisasi Politik)

BAB I

PENDAHULUAN

Kementerian Agama yang pada awalnya adalah Depag (Departemen Agama) dibentuk setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, yaitu pada tanggal 3 Januari 1946. Pemerintah membentuk Departemen Agama untuk melindungi kebebasan beragama, menjaga keserasian hubungan antara komunitas agama yang berbeda, dan yang utama adalah untuk menangani masalah keagamaan Muslim, seperti pendidikan Islam, perkawinan, haji, dakwah, dan mengelola peradilan agama.

B.J. Boland mengemukakan bahwa berdirinya Departemen Agama membawa makna positif bagi kepentingan umat Islam. Makna positif ini meliputi hal-hal sebagai berikut: 1) kementerian ini menawarkan kemungkinan bagi agama, khususnya agama Islam, untuk berperan seefektif mungkin dalam negara dan masyarakat; 2) Dalam sebuah negeri  yang bercorak muslim, kementerian ini merupakan suatu jalan tengah antara negara sekuler dan negara Islam.

Kementerian Agama mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang keagamaan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugas, Kementerian Agama menyelenggarakan fungsi:

  1. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang keagamaan; 
  2. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Agama; 
  3. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agama; 
  4. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Agama di daerah; 
  5. Pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional; dan 
  6. Pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah.

Departemen Agama inilah yang secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Orientasi usaha Departemen Agama dalam bidang pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi umat Islam agar pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah, di samping pada pengembangan pendidikan Islam dari pendidikan dasar, sampai pada tingkat pendidikan tinggi Islam. Karena sebagaimana yang diketahui, dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum telah menjadi isu yang menarik dalam perbincangan atau bahkan perdebatan di bidang pendidikan hingga saat ini. Hasil dari perbincangan atau perdebatan tersebut adalah lahirnya gagasan integrasi ilmu pengetahuan. Ide atau gagasan untuk mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum dalam instansi pendidikan sampai saat ini masih belum sesuai dengan target integrasi yang sesungguhnya. Sehingga walaupun seolah tampak ada integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum, sejatinya masing-masing tidaklah terjadi integrasi.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi Politik

Politik berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan sifat pribadi atau perbuatan. Dalam kamus berarti acting or judgeing wisely, welljudged prudent. Kata politik diambil dari kata latin politicus atau bahasa Yunani (Greek) politicos yang bermakna relating to a citizen. Kata itu berasal juga dari kata polis yang searti dengan city “kota”. 

Politik kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia, yaitu, segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu Negara atau terhadap Negara lain, tipu muslihat atau kelicikan, dan juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin pengetahuan, yaitu ilmu politik.

Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, politik adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan; segala urusan dan tindakan kebijaksanaan, siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain.[1]

Menurut M. Noor Syam, politik adalah usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga,  untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis. Usaha untuk mencapai kehidupan yang baik ini menyangkut bermacam-macam kegiatan yang di antaranya menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem, serta cara-cara melaksanakan tujuan itu. Dari sini diperlukan kekuasaan dan wewenang.[2]

Lasswels menyatakan bahwa politics is who gets whats, when, and how (politik itu adalah siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana. Menurut Deliar Noer, politik adalah segala aktifitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan, suatu macam bentuk susunan masyarakat.[3]. Sedikit berbeda dengan Deliar Noer, Miriam Budiardjo berpendapat bahwa, pada umumnya dikatakan bahwa politik (politices) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu system politik (atau Negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari system itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.[4]

Dari keterangan-keterangan yang diberikan Deliar Noer, dapat diketahui bahwa politik menurut pendapatnya tidak terbatas pada kegiatan yang berhubungan dengan pengambilan keputusan (decision making) dan kebijakan umum (public policies) seperti pendapat Miriam Budiardjo, tetapi juga mencakup pula kegiatan-kegiatan yang bertujuan mengadakan perubahan struktur masyarakat seperti pergeseran kekuasaan politik dari satu rezim ke rezim lain.

Dalam istilah, kata politik, pertama kali dikenal dari buku Plato yang berjudul politeia, yang dikenal juga dengan Republik.[5] Berikutnya muncul karya Aristoteles yang berjudul Politeia.[6] Kedua karya itu dipandang sebagai pangkal pemikiran politik yang berkembang kemudian. Dari sekian definisi yang ada paling tidak dapat ditemukan dua kecenderungan pendefinisian politik. Pertama, pandangan yang mengaitkan politik dengan Negara, yakni dengan urusan pemerintahan pusat atau pemerintahan daerah. Kedua, pandangan yang mengaitkannya dengan masalah kekuasaan, otoritas dan atau dengan konflik.[7]

Baca juga: Potret Politik dan Kebijakan Pendidikan


B. Pengertian Pendidikan

Pendidikan berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedagogie yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan education yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab, istilah ini sering diterjemahkan dengan tarbiyah yang berarti pendidikan.[8]

Kata pendidikan berasal dari kata didik yang mendapat awalan pen - dan akhiran -an, dan berarti perbuatan, hal, dan cara. Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan merupakan tuntutan bagi pertumbuhan anak. Artinya, pendidikan menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada diri anak, agar mereka sebagai manusia sekaligus sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.[9]

Di dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa pendidikan adalah: usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.[10]

Pendidikan merupakan bagian kebutuhan mendasar manusia (al-hâjat al-asasiyyah) yang harus dipenuhi oleh setiap manusia seperti halnya pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan perumahan. Pendidikan adalah bagian dari masalah politik (siyâsah) yang diartikan sebagai ri‘âyah asy-syu’ûn alummah (pengelolaan urusan rakyat) berdasarkan ideologi yang diemban negara.

Dalam perkembangannya, istilah pendidikan berarti bimbingan atau  pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap peserta didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya,  pendidikan berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi.


C. Pengertian Politik Pendidikan

Politik dan pendidikan adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik disetiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal keduanya bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat suatu negara. Lebih dari itu, keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat di negara tersebut. Ada hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik disetiap negara. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuwan.

Menurut Suhartono dalam Saputro 2009, politik pendidikan adalah studi ilmiah tentang aspek politik dalam seluruh kegiatan pendidikan.[11] Politik pendidikan adalah segala usaha, kebijakan dan siasat yang berkaitan dengan masalah pendidikan. Dalam perkembangan selanjutnya politik pendidikan adalah penjelasan atau pemahaman umum yang ditentukan oleh penguasa pendidikan tertinggi untuk mengarahkan pemikiran dan menentukan tindakan dengan perangkat pendidikan dalam berbagai kesamaan dan keanekaragaman beserta tujuan dan program untuk merealisasikannya.

Politik pendidikan adalah suatu proses pemilihan nilai-nilai dan pengalokasian sumber daya terbatas dalam proses pembuatan keputusan yang melibatkan berbagai kelompok yang memiliki kepentingan berbeda dalam rangka mempengaruhi pengambilan keputusan sehingga nilai-nilai dan alokasi sumber daya terbatas yang diinginkan oleh kelompok-kelompok tertentu masuk dalam pengambilan keputusan. Misalnya eksekutif memiliki kepentingan melaksanakan mandat/amanat peraturan perundang-undangan. Legislatif memiliki kepentingan yang bersumber dari konstituansnya, yudikatif berkepentingan bahwa pendidikan dilaksanakan secara adil, benar dan bermanfaat, serta berkepastian. Masyarakat, khususnya orang tua peserta didik memiliki kepentingan terhadap mutu pendidikan bagi anak-anaknya.

Politik pendidikan mengandung lima hal sebagai berikut: Pertama, politik pendidikan mengandung kebijakan pemerintah suatu negara yang berkenaan dengan pendidikan. Kedua, politik pendidikan bukan hanya berupa peraturan perundangan yang tertulis, melainkan juga termasuk kebijakan  lainnya. Ketiga, politik  pendidikan  ditujukan  untuk mensukseskan  penyelenggaraan  pendidikan. Keempat, politik pendidikan dijalankan demi tercapainya tujuan negara. Kelima, politik pendidikan  merupakan  sistem  penyelenggaraan  pendidikan  suatu negara.

Di dunia Islam keterkaitan antara politik dan pendidikan terlihat jelas. Sejarah peradaban Islam banyak ditandai oleh kesungguhan para ulama dan umara dalam memperhatikan persoalan pendidikan dalam upaya memperkuat posisi sosial politik kelompok dan pengikutnya. Dalam analisisnya tentang pendidikan pada masa Islam klasik menyimpulkan bahwa dalam sejarah perkembangan Islam, Institusi Politik ikut mewarnai corak pendidikan yang dikembangkan. Keterlibatan para penguasa dalam kegiatan pendidikan pada waktu itu, menurut Rasyid tidak hanya sebatas dukungan moral kepada para peserta didik, melainkan juga dalam bidang administrasi, keuangan dan kurikulum.

Tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pendidikan merupakan salah satu konstalasi politik. Peranan yang dimainkan oleh masjid-masjid dan madrasah-madrasah dalam mengokohkan kekuasaan politik para pemangku kebijakan dapat dilihat dalam sejarah. Di lain pihak, ketergantungan kepada uluran tangan para penguasa secara ekonomis, membuat lembaga-lembaga tersebut harus sejalan dengan nuansa politik yang berlaku.

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa politik pendidikan adalah segala kebijakan pemerintah suatu Negara dalam bidang pendidikan yang berupa peraturan perundangan atau lainnya untuk menyelenggarakan pendidikan demi tercapainya tujuan negara. Politik pendidikan (siyâsah atta‘lîm) suatu negara sangat ditentukan oleh ideologi (pandangan hidup) yang diemban negara tersebut. Faktor inilah yang menentukan karakter dan tipologi masyarakat yang dibentuknya. Dengan demikian, politik pendidikan dapat dipahami sebagai strategi pendidikan yang dirancang negara dalam upaya menciptakan kualitas human resources (sumberdaya manusia) yang dicita-citakan.


D. Fungsi Politik Pendidikan

Hubungan antara politik dan pendidikan bukan sekedar hubungan saling mempengaruhi, tetapi juga hubungan fungsional. Lembaga dan proses pendidikan menjalankan sejumlah fungsi politik yang signifikan. Proses kemunculan politik pendidikan sebagai suatu bidang kajian, baik di kalangan ilmuwan politik maupun ilmuan pendidikan telah melalui pergumulan metodologis yang panjang dan penuh perdebatan.

Menurut Made Pidarta, politik pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Semua aktivitas institusi pendidikan bermuara pada pencapaian tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003, yakni berkembangnya potensi peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.[12]

Ada dua pernyataan yang turut mempengaruhi berkembangnya pemikiran politik pendidikan. Pernyataan pertama dikemukakan oleh David Easton dalam artikel terkenalnya The Function of Formal Education in a Political System pada tahun 1957 dan  Thomas H. Eliot dengan artikelnya American Political Science Review pada tahun 1959.

Easton mengatakan bahwa institusi pendidikan memainkan fungsi politik penting dan membuktikan secara singkat sebagai agen sosial politik. Eliot mendemonstrasikan aspek-aspek politik di tingkat lokal. Ia mengatakan bahwa suka atau tidak suka, para pengelola sekolah terlibat dalam politik, karena sekolah-sekolah lokal adalah unit-unit pemerintahan. Eliot menegaskan bahwa politik mencakup pembuatan keputusan-keputusan pemerintah, dan upaya atau perjuangan untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan untuk membuat keputusan-keputusan tersebut. Sekolah-sekolah publik adalah bagian dari pemerintah. Maka dari itu lembaga ini merupakan entitas politik.

Dari pendekatan yang dikemukakan Eliot dan Easton, kita dapat menyelami nilai manfaat kajian politik pendidikan. Tugas utama kajian ini mengungkapkan cara-cara yang digunakan kelompok-kelompok kependidikan dalam upaya mereka untuk menciptakan lingkungan kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan mereka dan untuk memaksimalkan alokasi dana pemerintah untuk mereka.

Dalam kaitan ini, maka studi politik pendidikan mengungkapkan cara-cara yang ditempuh pemerintah dalam menggunakan pendidikan sebagai alat untuk memperkuat posisinya dan menutup peran-peran aktivitas subversif terhadapnya. Contohnya, bagaimana rezim otoriter memperkuat posisinya dengan ketat mengontrol pendidikan dan bagaimana semua rezim menggunakan pendidikan memperkuat sentimen kebangsaan dalam rangka memaksimalkan kekuasaan negara.

Pertanyaanya adalah bagaimana hal itu dilakukan? Tentu dalam hal dimana institusi pendidikan memiliki ketergantungan terhadap rejim berkuasa (pemerintah). Sekolah-sekolah dan Perguruan Tinggi memiliki kepentingan yang sangat tinggi pada pemerintah, terutama dalam hal akses pendanaan, penempatan lulusan dan sebagainya.

Sekolah dan Perguruan Tingi tentu tidak bisa berjalan sendiri, tanpa input dari pemerintah, dan dalam konteks itulah maka pemerintah yang dipimpin oleh rezim berkuasa memiliki ikatan bersama dengan lembaga-lembaga pendidikan. Dengan begitu, pendidikan menjadi alat yang dapat dimanfaatkan untuk mengungkap persaingan kekuasaan baik secara internal maupun eksternal. Diantara berbagai institusi dan praktek yang secara signifikan mempengaruhi stabilitas dan transformasi sistem politik adalah pendidikan.

Melalui pendekatan filosofis, fungsi politik dalam pendidikan mengungkap jenis-jenis penyelenggaraan pendidikan, pengembagan kurikulum maupun pengembangan organisasi, dalam rangka menanamkan konsep-konsep filosofis tentang masyarakat politik yang baik atau tatanan sosial yang baik. Berkenaan dengan fungsi ini, maka Easton kemudian mengajukan pertanyaan, apa peran yang harus dimainkan oleh pendidikan dalam rangka membangun warga negara yang baik?

Kajian tentang hal ini telah banyak dijawab dalam beberapa karya. Dari mereka para pendidik mendapatkan pernyataan bahwa sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan mempersiapkan generasi muda untuk menjadi warga negara yang aktif. Para insan pendidikan telah memusatkan tugas-tugas mereka pada pengembangan program-program pelatihan kewarganegaraan dengan mempromosikan kesetiaan kepada gagasan pemerintahan demokrasi.

Dale dan Apple, melihat fungsi politik pendidikan dari sudut pandang relasi negara dan pendidikan. Keduanya menemukan bahwa sekolah menjadi salah satu objek politik modern dimana kita dapat menyaksikan bagaimana kesadaran (consent) dan hegemoni tertentu terbangun dan mengalami kehancuran. Perubahan kurikulum disetiap periodesasi kepemimpinan di departemen pendidikan nasional adalah salah satu bukti tentang kesadaran hegemoni terbangun dan hancur.[13]

Berbagai persoalan yang muncul belakangan dalam dunia pendidikan seperti unjuk rasa para guru, mahasiswa, depat publik tentang isu-isu pendidikan, terutama alokasi anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD, otonomi lembaga pendidikan, tidak hanya membutuhkan pemahaman superficial tentang konteks politik dimana sekolah diselenggarakan, tetapi juga membutuhkan pemahaman tentang proses-proses yang menghasilkan berbagai keputusan mendasar tentang pendidikan disemua jenjang administratif. Disinilah fungsi politik pendidikan menjadi sangat diperlukan.


E. Realitas Politik Pendidikan

Sampai saat ini, realitas politik pendidikan di Negara kita masih belum sepenuhnya merdeka. Hal ini bisa kita lihat dari komitmen pemerintah yang masih rendah dalam mewujudkan akses dan pemerataan pendidikan dasar yang bebas biaya, belum terpenuhinya anggaran pendidikan sebesar 20%, kurangnya penghargaan terhadap profesionalisme dan kesejahteraan guru, rendahnya mutu dan daya saing pendidikan, upaya otonomi pendidikan yang masih setengah hati, dan sebagainya.

Pemerintah sebetulnya telah menetapkan Renstra pendidikan sejak tahun 2005–2009 dan 2009-2014 dengan tiga sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu meningkatnya perluasan dan pemerataan pendidikan, meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan, dan meningkatnya tata kepemerintahan (governance), akuntabilitas, dan pencitraan publik.

Sampai saat ini dunia pendidikan kita juga masih dihadapkan pada tantangan besar untuk mencerdaskan anak bangsa. Tantangan utama yang dihadapi di bidang pendidikan pada 2012 adalah meningkatkan akses, pemerataan, dan kualitas pelayanan pendidikan, terutama pada jenjang pendidikan dasar, perbaikan kurikulum pendidikan, dan tuntutan profesionalisme dan kesejahteraan guru.

Pada saat yang sama, kesenjangan partisipasi pendidikan juga masih terjadi, terutama antara penduduk miskin dan penduduk kaya. Meskipun pemerintah telah menyediakan bantuan operasional sekolah (BOS) untuk jenjang pendidikan dasar, masih ditemukan adanya beberapa sekolah yang masih menarik berbagai iuran, sehingga memberatkan orang tua, terutama bagi keluarga miskin. Kesenjangan partisipasi pendidikan tersebut terlihat makin mencolok pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.

Selain itu, ada beberapa agenda yang perlu diperhatikan untuk menentukan arah dan masa depan politik pendidikan, di antaranya adalah, Pertama, menghapus dikotomi dualisme penyelenggaraan pendidikan. Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif. Pendidikan yang berada di bawah naungan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementrian Agama harus berjalan seimbang dalam hal mutu, kualitas dan kemajuannya. Sehingga tidak ada lagi pandangan bahwa pendidikan keagamaan terkesan tidak bermutu dan terbelakang.

Kedua, peningkatan anggaran pendidikan. Kita semua menyadari, bahwa untuk memajukan dunia pendidikan nasional, pemenuhan alokasi anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD adalah menjadi keniscayaan, jika kita betul-betul serius ingin mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan, UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) telah mengamanahkannya. Namun persoalannya kemudian ketika anggaran pendidikan sudah 20% seringkali tidak tetap sasaran.

Ketiga, pembebasan biaya pendidikan dasar dan menengah. Pemerintah dan pemerintah daerah harus punya kemauan kuat untuk bisa membebaskan siswa dari biaya operasional pendidikan untuk tingkat sekolah dasar dan menengah.

Keempat, perbaikan kurikulum. Pendidikan mesti diarahkan pada sistem terbuka dan multimakna serta pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Karena itu, kurikulum pendidikan harus mampu membentuk insan cerdas, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan memiliki kebebasan mengembangkan potensi diri. Pendidikan juga mesti diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajarannya.

 Kelima, penghargaan pada pendidik. Pemerintah harus lebih serius meningkatkan kualifikasi, profesionalisme dan kesejahteraan guru. Sebab, guru merupakan pilar utama pendidikan dan pembangunan bangsa. Tanpa guru yang profesional dan sejahtera, mustahil pendidikan kita akan maju dan berdaya saing.

Keenam, penyediaan sarana dan prasaran pendidikan serta perluasan akses pendidkan. Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah harus lebih berkonsentrasi menyediakan sarana dan prasarana sekolah khususnya daerah terpencil untuk memudahkan akses dan pemerataan pendidikan bagi warga negara, yang pada giliranya akan meningkatkan SDM bangsa Indonesia.


F. Aktualisasi Politik Di Lingkungan Kementerian Agama

Pendidikan yang dikelola Kementerian Agama terdiri dari Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah hingga perguruan tinggi. Pengelolaan anggarannya masih tetap terpusat di Kementerian Agama RI; berbeda dengan pendidikan yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang tidak termasuk instansi vertikal yang biaya pendidikannya diserahkan pada pemerintah Kabupaten /Kota. Alasannya bahwa agama tidak termasuk yang diotonomikan atau didesentralisasikan.

Pada awal kemerdekaan Indonesia, pemerintah dengan kebijakannya memberi perhatian dan penghargaan kepada lembaga pendidikan Islam.  Hal ini terlihat dalam keputusan BP KNIP, agar madrasah berjalan terus  dan dipercepat. Di samping itu, madrasah swasta sudah disetarakan dengan madrasah negeri termasuk ijazahnya, sampai lahirnya UU No. 4  Tahun 1950, disusul dengan SKB 3 Menteri, dan terakhir UU SPN No. 20 Tahun 2003.

Demikian juga, pemerintah membantu pengembangan pendidikan Islam dengan tidak perlu merubah ciri dan identitas lembaga yang sudah melekat sejak didirikannya dan menjadi kekuatan dari madrasah itu sendiri. Meskipun dalam perjalanan madrasah terdapat diskriminasi antara madrasah negeri dan swasta, terutama terkait dengan bantuan yang sifatnya material. Meskipun demikian, kondisi Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia secara umum masih ditandai oleh berbagai kelemahan: [14]

Lembaga pendidikan Islam belum memiliki sumber daya manusia (SDM), manajemen dan dana pendidikan yang handal. Lembaga pendidikan Islam masih belum mampu mengupayakan secara optimal untuk mewujudkan Islam sesuai dengan cita-cita idealnya. Sementara masyarakat masih memposisikan lembaga pendidikan Islam sebagai pilar utama yang menyangga kelangsungan Islam dalam mewujudkan cita-citanya, yaitu memberi rahmat bagi seluruh alam.

Lembaga pendidikan Islam belum mampu mewujudkan Islam secara transformator. Masyarakat Islam dalam mengamalkan ajaran agamanya telah berhenti pada tataran simbol dan formalistik, sedangkan pesan spiritualitas dan filosofis dari ajaran Islam itu sendiri sering terlupakan.

Lembaga tinggi pendidikan Islam belum mampu mewujudkan masyarakat madani, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, seperti nilai keadilan, kebersamaan, kesederajatan, komitmen, kejujuran dan sebagainya.

Out put yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan Islam belum sesuai dengan keinginan masyarakat, yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara lembaga pendidikan Islam dengan masyarakat.

Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengantisipasi tantangan tersebut adalah:

  1. Mengembangkan tradisi ilmiah di lembaga pendidikan Islam, yaitu adanya pemaduan antara keunggulan sistem pesantren dengan sistem sekolah umum. Lembaga pendidikan sekolah umum telah banyak memberikan pengetahuan berupa sains, keterampilan, kemampuan berpikir logis, rasional, kreatif, dinamis dan bebas. Lembaga pendidikan Islam pesantren seharusnya dapat tampil ke depan membuat peluang dengan memadukan keunggulan dalam bidang akhlak dan moral serta ketaatan menjalankan ibadah yang ada pada sistem pendidikan pesantren dengan keunggulan dan keterampilan, kreatifitas yang ada di sekolah umum. 
  2. Mengaktifkan setiap komponen kurikulum agar berfungsi lebih maksimal. Yaitu: komponen tujuan, komponen materi komponen strategis, komponen media, dan komponen evaluasi. 
  3. Meningkatkan profesionalitas guru. 
  4. Meningkatkan pengelolaan 
  5. Menyediakan fasilitas sarana dan prasarana

Dari gagasan-gagasan tersebut di atas, maka beberapa gagasan penting untuk pengembangan pendidikan Islam, yaitu:

1.  Pengembangan SDM yang Berkualitas 

Menurut abraham maslow, sumber daya manusia berkualitas adalah sumber daya manusia yang mampu mengaktualisasikan diri, yaitu dengan memiliki karakteristik sebagai berikut:[16]

  • Dapat menerima dirinya, orang lain dan lingkungan sekitar 
  • Berpandangan relistik 
  • Tidak bersikap pasrah 
  • Berorientasi pada problem-problem eksternal, bukan pada dirinya. 
  • Mengapresiasi kebebasan dan kebutuhan akan spesialisasi. 
  • Berkepribadian independen dan bebas dari pengaruh orang lain. 
  • Mengapresiasi segala sesuatu secara progresif, tidak tejebak pada pola-pola baku. 
  • Integratif dan akomodatif terhadap semua kalangan. 
  • Hubungan dengan orang lain sangat kuat dan mendalam bukan sekadar formalitas. 
  • Arah dan norma demokratisnya diliputi oleh sikap toleran dan sensitivitasnya. 
  • Tidak mencampuradukkan antara sarana dan tujuan. 
  • Gemar mencipta, berkreasi, dan menemukan penemuan-penemuan dalam skala besar. 
  • Menentang ketaatan dan kepatuhan buta terhadap budaya. 
  • Berjiwa riang secara filosofis, tidak bermusuhan

2.  Peningkatan Pendidikan Sains dan Teknologi

Teknologi sering ditaktifkan sebagai “sains yang diterapkan untuk mengatasi masalah konkret-aktual yang dihadapi manusia”. Mengatasi masalah memang merupakan fungsi teknologi, tetapi bukan yang konkret-aktual saja yang harus diselesaikan dengan bantuan teknologi. Potensi munculnya masalah pun perlu diantisipasi, dan teknologi untuk menghadapinya dapat dirancang jauh-jauh hari sebelum masalah itu benar-benar hadir. Lazimnya sains memang menjadi landasan pengembangan teknologi, terlebih-lebih lagi teknologi tinggi. Tetapi, bahkan teknologi yang canggih pun tidka sepenuhnya didasarkan pada pengetahuan keilmuan (scientific knowledge). Karena pengetahuan keilmuan yang diperlukan belum ada, atau berbagai kendala menghalangi pemerolehannya.[17]

3.  Pengembangan Pendidikan Tinggi untuk Penguasaan IPTEK

Penelitian di berbagai negara, baik negara-negara maju maupun di negara-negara industri baru di kawasan Asia, menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sangat ditentukan oleh mutu SDM, akumulasi modal (capital), dan tingkat penguasaan teknologi. Industri akan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menopang kemajuan serta kemandirian bangsa secara berkelanjutan dalam era globalisasi, apabila industri tersebut berbasis iptek. Alasan utamanya adalah bahwa industri yang berbasis penguasaan Iptek akan lebih bersifat dinamis, senantiasa memperbarui diri (self-renewal), dan mendorong peningkatan produktivitas sebagai landasan utama daya saingnya di pasar global.[18]

Berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan kualitas, Kemenag telah menjalin kerja sama dengan beberapa lembaga berupa BEP (Basic Education Project) untuk MI dan MTs, dan DMAP (Development Madrasah Aliyah Project).[19] Kerja sama ini sangat direspons positif, meskipun baru diprioritaskan menggembirakan. Bahkan menurut Muhaimin, hasil tersebut memenuhi tiga tuntutan minimal dalam peningkatan kualitas madrasah, yaitu: pertama, bagaimana menjadikan madrasah sebagai wahana pembinaan ruh atau praktek hidup keislaman; kedua, bagaimana madrasah tidak termarginalkan oleh sekolah umum; ketiga, bagaimana  madrasah mampu merespons tuntutan masa depan guna mengantisipasi perkembangan iptek dan era globalisasi.[20]

BAB III
KESIMPULAN

Kementerian Agama dibentuk setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, yaitu pada tanggal 3 Januari 1946. Pemerintah membentuk Departemen Agama untuk melindungi kebebasan beragama, menjaga keserasian hubungan antara komunitas agama yang berbeda, dan yang utama adalah untuk menangani masalah keagamaan Muslim, seperti pendidikan Islam, perkawinan, haji, dakwah, dan mengelola peradilan agama

Beberapa agenda yang perlu diperhatikan untuk menentukan arah dan masa depan politik pendidikan, di antaranya adalah, Pertama, menghapus dikotomi dualisme penyelenggaraan pendidikan, Kedua, peningkatan anggaran pendidikan, Ketiga, pembebasan biaya pendidikan dasar dan menengah, Keempat, perbaikan kurikulum, Kelima, penghargaan pada pendidik, dam Keenam, penyediaan sarana dan prasaran pendidikan serta perluasan akses pendidkan.

Baca juga: Makalah Kebijakan pendidikan Islam Masa Orde Baru

DAFTAR PUSTAKA

Alan C Isaac, Scope and Methode of Political Science, Homewood Illios: The Donsey Press,1981.

Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Karya Agung, 2005.

Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Jakarta: Rajawali, 1982.

Fasli Jalal dan Dedi Supriadi, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah Yogyakarta: AdiCita, 2001.

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Made Pidarta, Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2013.

Michael W. aple, common curriculum and state control, discourse, 1982.

Muchtar Bukhori, dkk., Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.

Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, Jakarta: Kalam Mulia, 2009.

Sirozi, Muhammad, MA, Ph.D., Agenda Strategi Pendidikan Islam, AK Group 2004.

Toto Suharto, dkk., Rekonstruksi dan Modernisasi Lembaga Pendidikan Islam, Corpus (Circle Of Raden Fatah Postgraduate Students) dan Global Pustaka Utama Yogyakarta, 2005.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 bagian 1

Zurinal Z dan Wahdi Sayuti, Ilmu Pendidikan, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.

http://dwikurniasaputro.wordpres.com


[1] Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Karya Agung, 2005, hlm. 389.

[2] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), hal. 13-15

[3] Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Jakarta: Rajawali, 1982), hlm. 11-12

[4] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia, 1982), h. 8

[5] Deliar Noer, op.cit, h.11-12

[6]  Ibid, h.26

[7] Alan C Isaac, Scope and Methode of Political Science (Homewood Illios: The Donsey Press,1981), h. 15-16

[8] Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, Jakarta: Kalam Mulia, 2009, h. 83

[9] Zurinal Z dan Wahdi Sayuti, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), hal. 65

[10] Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 bagian 1


[11] http://dwikurniasaputro.wordpres.com

[12] Made Pidarta, Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hal. 18

[13] Michael W. Aple, Common Curriculum And State Control, (Discourse, 1982), hal 2

[14] Toto Suharto, dkk., Rekonstruksi dan Modernisasi Lembaga Pendidikan Islam, Corpus (Circle Of Raden Fatah Postgraduate Students) dan Global Pustaka Utama Yogyakarta, 2005. hal. 116-117.

[15] Ibid., hal. 152-161

[16] Muhammad Sirozi,Agenda Strategi Pendidikan Islam, (AK Group, 2004), hal. 136-137

[17] Muchtar Bukhori, dkk., Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal. 145.

[18] Fasli Jalal dan Dedi Supriadi, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah (Yogyakarta: AdiCita, 2001), hal. 371.

[19]Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 188.


[20] Ibid, hal. 188


Terimakasih, Semoga Bermanfaat...

Post a Comment for "Aktualisasi Politik di Lingkungan Kementerian Agama"