Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kebijakan Pendidikan Islam Sebelum Abad ke-20

A. PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan suatu upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan generasi penerus bangsa yang siap melanjutkan estafet perjuangan bangsa Indonesia. Sejak awal perkembangan Islam, pendidikan mendapat prioritas utama dalam masyarakat muslim di Indonesia.

Dalam sejarahnya, pendidikan Islam di Indonesia mengalami perjalanan yang begitu panjang, bermula dari proses Islamisasi Nusantara yang tentu tidak terlepas dari peran besar tokoh-tokoh penyebar agama Islam.

Perkembangan kebijakan pendidikan Islam di Indonesia dari awal pertumbuhannya hingga sekarang dapat dikaji melalui empat masa yaitu: masa Sulthan Islam Nusantara atau masa pra-kemerdekaan, masa orde lama, masa orde baru, dan masa reformasi.

Pendidikan Indonesia pada zaman sebelum kemerdekaan dapat digolongkan ke dalam tiga periode, yaitu pendidikan yang berlandaskan ajaran keagamaan, pendidikan yang berlandaskan kepentingan penjajahan, dan pendidikan dalam rangka perjuangan kemerdekaan.

Pendidikan berlandaskan ajaran Islam dimulai sejak datangnya para saudagar asal gujarat India ke Nusantara pada abad ke-13. Ajaran Islam mula-mula berkembang di kawasan Pesisir. Pendidikan dilaksanakan dalam bentuk pengajian Al-qur’an dan pengajian kitab yang diselenggarakan di rumah-rumah, surau, masjid, pesantren dan lain-lain. Pada perkembangan selanjutnya mengalami perubahan bentuk baik dari segi kelembagaan, materi pengajaran, metode maupun struktur organisasinya sehingga melahirkan suatu bentuk yang baru yang disebut madrasah.

Kebijakan Pendidikan Islam Sebelum Abad ke-20
pixabay


B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Kebijakan Pendidikan Islam

Kebijakan  adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat. Kebijakan bersifat mengikat dengan tujuan untuk menciptakan tata nilai dalam masyarakat. Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda dengan Hukum (Law) dan Peraturan (Regulation), kebijakan lebih adaptif dan interpretatif.

Dalam Kamus Hukum, kebijakan diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dan sebagainya). Kebijakan juga merupakan sekumpulan keputusan yang di ambil oleh seseorang atau kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan.

Menurut Aminullah yang dikutip oleh Edi Suharto[1], kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem pencapaian tujuan yang diinginkan, upaya dan tindakan dimaksud bersifat strategis yaitu berjangka panjang dan menyeluruh”.

Jadi suatu kebijakan di wujudkan dalam bentuk keputusan, juga menekankan pada tindakan, baik yang dilakukan maupun yang tidak di lakukan.

Sedangkan pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.[2] Muhammad Fadhil Al-Jamaly mendefenisikan pendidikan Islam sebagai upaya pengembangan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan terbentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan maupun perbuatannya.

Menurut Hasan Langgulung[3], pendidikan Islam adalah proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselarasikan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat. Langgulung menekankan pendidikan Islam pada mempersiapkan generasi muda dengan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam untuk mampu berusaha di atas dunia dan memetik hasilnya di akhirat.

Dapat penulis simpulkan bahwa kebijakan pendidikan Islam adalah suatu keputusan dan sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) agar dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologis atau gaya pandang umat yang religius dan yang sesuai dengan cita-cita dan harapan Bangsa.

Baca Juga: Politik pemerintah terhadap pendidikan Islam Indonesia


2. Kebijakan Pendidikan Islam sebelum abad ke-20

Secara historis, keberadaan pendidikan Islam di Indonesia dimulai sejak masuknya islam ke Indonesia yaitu pada abad ke-7. Dengan masuknya Islam ke Indonesia secara otomatis praktek pendidikan atau pengajaran Islam telah ada meski dalam bentuk yang sangat sederhana.

Seperti yang telah penulis singgung pada bab 1 bahwa pendidikan di Indonesia pada zaman sebelum kemerdekaan dapat digolongkan ke dalam tiga periode, yaitu:Pendidikan yang berlandaskan ajaran keagamaan, Pendidikan yang berlandaskan kepentingan penjajahan, dan Pendidikan dalam rangka perjuangan kemerdekaan.

Pendidikan berlandaskan ajaran Islam dimulai sejak datangnya para saudagar asal Gujarat India ke Nusantara pada abad ke-13. Kehadiran mereka mula-mula terjalin melalui kontak teratur dengan para pedagang asal Sumatra dan Jawa. Ajaran Islam mula-mula berkembang di kawasan pesisir, sementara di pedalaman agama Hindu masih kuat.[4] Didapati pendidikan agama Islam di masa prakolonial dalam bentuk pengajian Al Qur’an dan pengajian kitab yang diselenggarakan di rumah-rumah, surau, masjid, pesantren dan lain-lain. Kitab-kitab ini adalah menjadi ukuran bagi tinggi rendahnya ilmu agama seseorang.[5] Pendidikan Islam yang sederhana ini sangat kontras dengan pendidikan barat yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada abad ketujuh belas. Pada perkembangan selanjutnya pendidikan Islam mengalami perubahan bentuk baik dari segi kelembagaan, materi pengajaran, metode maupun struktur organisasinya sehingga melahirkan suatu betuk yang baru yang disebut Madrasah.[6]

Pendidikan Islam yang berlangsung di langgar bersifat elementer, dimulai dengan mempelajari huruf abjad Arab (hijaiyyah) atau kadang-kadang langsung mengikuti guru dengan menirukan apa yang telah dibaca dari kitab suci Alquran Pendidikan semacam ini dikelola oleh seorang petugas yang disebut Amil, Moden atau Lebai yang memiliki tugas ganda yaitu di samping memberikan doa pada waktu upacara keluarga atau desa, juga berfungsi sebagai guru. Pengajian Alquran pada pendidikan Langgar ini dapat dibedakan atas dua tingkatan yaitu:

  1. Tingkatan rendah, yaitu merupakan tingkatan pemula, yaitu di mulai dengan sampai bisa membacanya yang diadakan pada tiap-tiap kampung. 
  2. Tingkatan atas, pelajarannya selain tersebut di atas, juga ditambah dengan pelajaran lagu, kasida dan berzanzi, tajwid dan mengaji kitab perukunan.


a. Zaman Kerajaan Samudra Pasai


Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai, yang didirikan pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum. Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 H).[7] Pada tahun 1345, Ibnu Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman pemerintahan Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan bermazhab Syafi’i, mengadakan pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih berbahasa Arab serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana.[8]

Keterangan Ibnu Batutah tersebut dapat ditarik kesimpulan pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan Pasai sebagai berikut:

  1. Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syari’at adalah Fiqh mazhab Syafi’i 
  2. Sistem pendidikannya secara informal berupa majlis ta’lim dan halaqoh 
  3. Tokoh pemerintahan merangkap tokoh agama 
  4. Biaya pendidikan bersumber dari negara.

Pada zaman kerajaan Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-14 M, maka pendidikan juga tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan Tome Pires, yang menyatakan bahwa “di Samudra Pasai banyak terdapat kota, di mana antar warga kota tersebut terdapat orang-orang berpendidikan”.[9]  Menurut Ibnu Batutah juga, Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir adalah orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama, setelah sembahyang mengadakan diskusi dengan para alim pengetahuan agama, antara lain: Amir Abdullah dari Delhi, dan Tajudin dari Ispahan. Bentuk pendidikan dengan cara diskusi disebut Majlis Ta’lim atau halaqoh. Sistem halaqoh yaitu para murid mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di tengah-tengah lingkaran murid dengan posisi seluruh wajah murid menghadap guru.


b. Kerajaan Perlak

Kerajaan Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang pertama Sultan Alaudin (tahun 1161-1186 H/abad 12 M). Antara Pasai dan Perlak terjalin kerja sama yang baik sehingga seorang Raja Pasai menikah dengan Putri Raja Perlak. Perlak merupakan daerah yang terletak sangat strategis di Pantai Selat Malaka, dan bebas dari pengaruh Hindu.[10]

Kerajaan Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam Dayah Cot Kala. Dayah disamakan dengan Perguruan Tinggi, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Daerahnya kira-kira dekat Aceh Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran Teungku Chik M. Amin, pada akhir abad ke-3 H, abad 10 M. Inilah pusat pendidikan pertama.

Rajanya yang ke enam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun 1243--‐1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif bijaksana lagi alim. Beliau adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam yaitu suatu Majlis Taklim tinggi dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim. Lembaga tersebut juga mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al‐Umm karangan Imam Syafi’i.[11]  Dengan demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam telah berjalan cukup baik.


c. Kerajaan Aceh Darussalam

Proklamasi kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah (1507-1522 M). Bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan Kerajaan Aceh adalah Gampong (Kampung), yang dikepalai oleh seorang Keucik dan Waki (wakil). Gampong-gampong yang letaknya berdekatan dan yang penduduknya melakukan ibadah bersama pada hari jum’at di sebuah masjid merupakan suatu kekuasaan wilayah yang disebut mukim, yang memegang peranan pimpinan mukim disebut Imeum mukim.

Jenjang pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali pendidikan terendah Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau sekolah, terdapat di setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain:

  • Sebagai tempat belajar Alquran 
  • Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi yang diajarkan yaitu menulis dan membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu, akhlak dan sejarah Islam.

Fungsi lainnya adalah sebagai berikut :

  1. Sebagai tempat ibadah sholat 5 waktu untuk kampung itu. 
  2. Sebagai tempat sholat tarawih dan tempat membaca Alquran di bulan puasa. 
  3. Tempat kenduri Maulud pada bulan Mauludan. 
  4. Tempat menyerahkan zakat fitrah pada hari menjelang Idhul Fitri / bulan puasa 
  5. Tempat mengadakan perdamaian bila terjadi sengketa antara anggota kampung. 
  6. Tempat bermusyawarah dalam segala urusan 
  7. Letak meunasah harus berbeda dengan letak rumah, supaya orang segera dapat mengetahui mana yang rumah atau meunasah dan mengetahui arah kiblat sholat.[12]

Kerajaan Aceh telah menjalin suatu hubungan persahabatan dengan kerajaan Islam terkemuka di Timur Tengah yaitu kerajaan Turki. Pada masa itu banyak pula ulama dan pujangga-pujangga dari berbagai negeri Islam yang datang ke Aceh. Para ulama dan pujangga ini mengajarkan ilmu agama Islam (Theologi Islam) dan berbagai ilmu pengetahuan serta menulis bermacam-macam kitab berisi ajaran agama. Karenanya pengajaran agama Islam di Aceh menjadi penting dan Aceh menjadi kerajaan Islam yang kuat di nusantara. Diantara para ulama dan pijangga yang pernah datang ke kerajaan Aceh antara lain Muhammad Azhari yang mengajar ilmu Metafisika, Syekh Abdul Khair Ibn Syekh Hajar ahli dalam bidang pogmatic dan mistik, Muhammad Yamani ahli dalam bidang ilmu usul fiqh dan Syekh Muhammad Jailani Ibn Hasan yang mengajar logika.[13]

Tokoh pendidikan agama Islam lainnya yang berada di kerajaan Aceh adalah Hamzah Fansuri. Ia merupakan seorang pujangga dan guru agama yang terkenal dengan ajaran tasawuf yang beraliran wujudiyah. Diantara karya-karya Hamzah Fansuri adalah Asrar Al-Aufin, Syarab Al-Asyikin, dan Zuiat Al-Nuwahidin. Sebagai seorang pujangga ia menghasilkan karya-karya, Syair si burung pungguk, syair perahu. Ulama penting lainnnya adalah Syamsuddin As-Samathrani atau lebih dikenal dengan Syamsuddin Pasai. Ia adalah murid dari Hamzah Fansuri yang mengembangkan paham wujudiyah di Aceh. Kitab yang ditulis, Mir’atul al-Qulub, Miratul Mukmin dan lainnya.

Ulama dan pujangga lain yang pernah datang ke kerajaan Aceh ialah Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Ia menentang paham wujudiyah dan menulis banyak kitab mengenai agama Islam dalam bahasa Arab maupun Melayu klasik. Kitab yang terbesar dan tertinggi mutu dalam kesustraan Melayu klasik dan berisi tentang sejarah kerajaan Aceh adalah kitab Bustanul Salatin. Pada masa kejayaan kerajaan Aceh, masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) oleh Sultannya banyak didirikan masjid sebagai tempat beribadah umat Islam, salah satu masjid yang terkenal Masjid Baitul Rahman, yang juga dijadikan sebagai Perguruan Tinggi dan mempunyai 17 daras (fakultas).

Dengan melihat banyak para ulama dan pujangga yang datang ke Aceh, serta adanya Perguruan Tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kerajaan Aceh menjadi pusat studi Islam. Karena faktor agama Islam merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh pada periode berikutnya. Menurut B.J. Boland, bahwa seorang Aceh adalah seorang Islam.


d. Zaman Kerajaan Demak

Kerajaan Demak berdiri kira-kira tahun 1478. Hal itu didasarkan pada saat jatuhnya Majapahit yang diperintah oleh Prabu Kertabumi (Brawijaya V) dengan ditandai candrasengkala, sirna ilang kertaning bumi (artinya tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi). Para wali kemudian sepakat untuk menobatkan Raden Patah menjadi raja di Kerajaan Demak dengan gelar Senapati JimbungNgabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Raden Patah adalah putra Brawijaya V dengan putri dari Campa. Setelah takhta ayahnya jatuh ke tangan Girindra Wardhana dari Keling (Daha), Demak pun terancam. Akibatnya terjadi peperangan antara Demak dan Majapahit pimpinan Girindra Wardhana dan keturunannya yang bernama Prabu Udara hingga tahun 1518. Kemenangan berada di pihak Demak dan tampil sebagai Kerajaan Islam terbesar di Jawa.[14]

Sistem pelaksanaan pendidikan dan pengajaran agama Islam di Demak mempunyai kemiripan dengan pelaksanaannya di Aceh, yaitu dengan mendirikan masjid di tempat-tempat sentral di suatu daerah. Disana diajarkan pendidikan agama di bawah pimpinan seorang Badal untuk menjadi guru, yang menjadi pusat pendidikan dan pengajaran serta sumber agama Islam.


e. Kerajaan Mataram

Perpindahan kekuasaan dari Demak ke Pajang (sekitar tahun 1568), tidak menyebabkan perubahan yang berarti pada sistem pendidikan dan pengajaran Islam. Baru kemudian setelah pusat kerajaan Islam berpindah dari Pajang ke Mataram di tahun 1586, tampak beberapa macam perubahan, terutama pada zaman Sultan Agung (tahun 1613). Sesudah mempersatukan hampir seluruh daerah di Jawa dengan Mataram, sejak tahun 1630 Sultan Agung mencurahkan tenaganya untuk membangun negara, seperti mempergiat usaha-usaha pertanian serta memajukan perdagangan dengan luar negeri. Di zaman beliau, aspek kebudayaan, kesenian dan kesusastraan telah mengalami kemajuan.

Beberapa tempat Pengajian Qur’an diadakan di desa-desa. Di sana diajarkan huruf hijaiyah, membaca al Qur’an, pokok-pokok dan dasar ilmu agama Islam. Cara mengajarkannya adalah dengan menghafal. Jumlah tempat Pengajian Qur’an adalah menurut banyaknya modin di desa itu. Hal itu disebabkan di tiap Pengajian Qur’an, modin bertindak sebagai pengajar. Meskipun tidak ada undang-undang wajib belajar, namun anak laki-laki dan perempuan yang berumur 7 tahun harus belajar di Pengajaian Qur’an di desa masing-masing atas kehendak orang tuanya sendiri. Hal tersebut menjadi semacam adat yang berlaku saat itu. Karena jika ada anak yang berumur 7 tahun atau lebih tidak belajar mengaji, dengan sendirinya menjadi olok-olokan teman seusianya.

Selain itu ada pula Pengajian Kitab yang dikhususkan pada murid-murid yang telah mengkhatamkan al Qur’an. Guru di Pengajian Kitab biasanya adalah modin terpandai di desa itu. Bisa juga modin dari desa lain yang memenuhi syarat, baik dari kepandaiaan maupun budi pekertinya. Guru-guru tersebut diberi gelar Kiyai Anom. Waktu belajar ialah pagi, siang, dan malam hari. Kitab-kitab yang diajarkan ditulis dalam bahasa arab lalu diterjemahkan ke dalam bahasa daerah. Pelajarannya antara lain Usul 6 Bis, kemudian matan Taqrib, dan Bidayatul Hidayah karya Imam Ghazali dalam ilmu akhlak. Pengajarannya dilakukan dengan sorongan, seorang demi seorang bagi murid pemula dan halaqah bagi pelajar lanjutan.18 Di beberapa kabupaten, diadakan Pesantren Besar, lengkap dengan asrama atau pondok untuk melanjutkan pendidikan dari pesantren desa ke tingkatan tinggi. Gurunya bergelar Kiyai Sepuh atau Kanjeng Kiyai. Pesantren ini berperan sebagai lembaga pendidikan tingkat tinggi. Kitab-kitab yang diajarkan pada pesantren besar ialah kitab-kitab besar dalam bahasa arab, lalu diterjemahkan kata demi kata ke dalam bahasa daerah dan dilakukan secara halaqah. Bermacam-macam ilmu agama diajarkan disini, seperti: fiqh, tafsir, hadits, ilmu kalam, tasawuf, dan sebagainya. Selain pesantren besar, juga diselenggarakan semacam pesantren takhassus, yang mengajarkan satu cabang ilmu agama dengan cara mendalam atau spesialisasi.[15]


f. Pendidikan Islam di masa kolonialisme Belanda

Pemerintah Belanda mulai menjajah Indonesia pada tahun 1619 yaitu ketika Jan Pieter Coen menduduki Jakarta. Kemudian Belanda satu demi satu memperluas jajahannya ke berbagai daerah dan diakui bahwa Belanda datang ke Indonesia bermotif ekonomi, politik dan agama. Tahun 1882 M pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus untuk mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam. Selanjutnya pada tahun 1932 M keluar peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberi pelajaran yang tidak disukai penjajah. Tekanan yang diberikan pihak penjajah justru tidak dihiraukan terbukti dalam sejarah masyarakat muslim Indonesia pada saat itu organisasi Islam laksana air hujan yang sulit dibendung.

Kedatangan bangsa barat memang telah membawa kemajuan teknologi. Tetapi tujuannya adalah untuk meningkatkan hasil penjajahannya. Bukan unstuck kemakmuran bangsa yang dijajah. Begitu pula dibidang pendidikan. Mereka memperkenalkan system dan metode baru tetapi sekedar untuk mengasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah yang murah dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat. Apa yang mereka sembut pembaruan pendidikan itu adalah westernisasi dari kristenisasi yakni untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai kebijaksanaan penjajahan Barat di Indonesia selama 3.5 Abad. Sejak dari zaman VOC (Belanda Swasta) kedatangan mereka di Indonesia. Dalam hak actroi VOC terdapat suatu pasal yang berbunyi sebagia berikut: “Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila perlu boleh berperang. Dan harus memperhatikan perbaikan agama Kristen dengan mendirikan sekolah”.

Ketika Van den Boss menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta pada tahun 1831, keluarlah kebijaksanaan bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah pemerintah. Departemen yang mengurus pendidikan dan keagamaan dijadikan satu. Dan di tiap daerah Keresidenan didirikan satu sekolah agama Kristen. Gubernur Jenderal Van den Capellen pada tahun 1819 M mengambil inisiatif merencanakan berdirinya sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar dapat membantu pemerintah Belanda. Dalam surat edarannya kepada para Bupati tersebut sebagai berikut : ”Dianggap penting unstuck secepat mungkin mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar lebih mudah untuk dapat menaati undang-undang dan hukum negara”.[16]

Pendidikan Islam di Indonesia pada masa penjajahan menurun kualitasnya dibandingkan masa sebelumnya (Kerajaan Islam) Belanda sebagai penjajah pada masa itu tidak memperdulikan perkembangan pendidikan di Indonesia terutama Islam karena Belanda sendiri menganut agama nashroni dan bahkan Belanda cenderung menghalangi pendidikan Islam di Indonesia. Ini sangat wajar karena, kolonial Belanda tidak akan bertahan lama, apabila agama Islam dibiarkan tumbuh dan berkembang. Sebab Islam adalah agama yang membenci segala bentuk penindasan dan penjajahan. Untuk menghadapi masalah tersebut pemerintah kolonial Belanda sangat berterima kasih kepada Christian Snouck Hurgronje (1889) yang secara sungguh-sungguh mendalami Islam. Salah satu nasehatnya kepada pemerintah Belanda ialah “Pengaruh Islam tidak mungkin dihambat tetapi perlu dibatasi pengaruhnya. Berikan umat Islam kebebasan melaksanakan ibadah agama mereka, tetapi pendidikan harus diawasi”.

Pada masa penjajahan Belanda, bangsa Indonesia berhasil dijadikan bangsa yang sangat lemah dalam segala sektor kehidupan. Penduduk yang berpendidikan jumlahnya sangat sedikit. Pendidikan hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat tertentu. Penduduk pribumi umumnya tidak mendapat kesempatan memperoleh pendidikan yang layak.

Kebijakan pemerintah Hindia Belanda sendiri terhadap pendidikan Islam pada dasarnya bersifat menekan karena kekhawatiran akan timbulnya militansi kaum muslimin terpelajar. Bagi pemerintahan penjajah, pendidikan di Hindia Belanda tidak hanya bersifat pedagogis cultural tetapi juga psikologis politis. Pandangan ini pada satu fihak menimbulkan kesadaran bahwa pendidikan dianggap begitu vital dalam upaya mempengaruhi kebudayaan masyarakat. Melalui pendidikan ala Belanda dapat diciptakan kelas masyarakat terdidik yang berbudaya Barat sehingga akan lebih akomodatif terhadap kepentingan penjajah. Tetapi dipihak lain, pandangan diatas juga mendorong pengawasan yang berlebihan terhadap perkembangan lembaga pendidikan Islam seperti madrasah.

Baca juga: Potret hasil politik dan kebijakan pendidikan islam indonesia

Kelestarian penjajahan, betapapun merupakan impian politik pemerintah penjajah Belanda. Sejalan dengan pola ini, maka kebijakan di bidang pendidikan menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi. Pendidikan Barat diformulasikan sebagai faktor yang akan menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia. Pada akhir abad ke-19 Snouck Hurgronje telah begitu optimis bahwa Islam tidak akan sanggup bersaing dengan pendidikan Barat. Agama ini dinilai sebagai beku dan penghalang kemajuan, sehingga harus diimbangi dengan meningkatkan taraf kemajuan pribumi.

Agaknya ramalan tersebut belum memperhitungkan faktor kemampuan Islam untuk mempertahankan diri di negeri ini, juga belum memperhitungkan faktor kesanggupan Islam menyerap kekuatan dari luar untuk meningkatkan diri. Memang cukup alasan agaknya untuk merasa optimis. Kondisi obyektif pendidikan Islam pada waktu itu memang sedemikian rupa, sehingga diperkirakan tidak akan mampu menghadapi superioritas Barat, tidak akan sanggup melawan pendidikan Kristen yang jauh lebih maju dalam segala bidang, dan tidak akan bisa berhadapan dengan sikap diskriminatif pemerintah penjajah. Tetapi ternyata kemudian kondisi agama ini berkembang menjadi berbeda dengan perhitungan dan ramalan tersebut.

Ada dua ciri khas pendidikan Islam di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. Pertama, adalah dikotomis yaitu suatu keadaan/sikap saling bertentangan. Kedua, adalah diskriminatif dimana setiap guru agama Islam harus meminta izin terlebih dahulu sebelum melaksanakan tugas sebagai guru agama yang pada akhirnya mendapat reaksi keras dari umat Islam.

a.  Dikotomis

Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah pertentangan antara pendidikan Belanda (HIS, MULO, AMS, dan lain-lain), dengan pendidikan Islam (Pesantren, dayah, surau). Pertentangan ini dapat dilihat dari sudut ilmu yang dikembangkan. Di sekolah-sekolah Belanda dikembangkan ilmu-ilmu umum (ilmu-ilmu sekuler). Pemerintah penjajah Belanda tidak mengajarkan pendidikan agama sama sekali di sekolah-sekolah yang mereka asuh.

Pemerintah Hindia Belanda mempunyai sikap netral terhadap pendidikan agama di sekolah-sekolah umum, ini dinyatakan dalam Pasal 179 (2) I.S (Indishe Staatsregeling) dan dalam berbagai ordonansi. Singkatnya dinyatakan sebagai berikut: Pengajaran umum adalah netral, artinya bahwa pengajaran itu diberikan dengan menghormati keyakinan agama masing-masing. Pengajaran agama hanya boleh diberikan di luar jam sekolah. Upaya-upaya untuk memasukan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum telah beberapa kali diusulkan lewat Volksraad, tetapi tetap ditolak oleh pemerintah Belanda. Dan hal ini berlangsung sampai akhir pemerintahan Belanda di Indonesia.

Sedangkan di lembaga pendidikan Islam dalam hal ini di pesantren, pendidikan yang diberikan adalah pendidikan keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Dengan demikian suasana pendidikan dikotomis itu amat kentara di zaman penjajahan Belanda. Berkaitan dengan itu kedua lembaga pendidikan ini (sekolah dan pesantren) memiliki filosofi yang berbeda yang sekaligus melahirkan output yang memiliki orientasi yang berbeda pula. Pada waktu itu perbedaan yang tajam antara ilmu agama dan ilmu umum menyebabkan munculnya sistem pendidikan umum dan sistem pendidikan agama pada fase terakhir abad ke-19, serta dilanjutkan dan diperkuat pada abad ke-20.

b.  Diskriminatif

Pemerintah Belanda memberikan perlakuan diskriminatif terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Diantara pelaksanaan diskriminatif diberlakukan ordonansi guru pada tahun 1905. Ordonansi itu adalah mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu sebelum melaksanakan tugas sebagai guru agama.

Ordonansi ini dirasakan oleh para guru agama sangat berat, terlebih-lebih bagi guru agama yang belum memiliki administrasi sekolah. Selain itu dampak negative yang dihasilkan dari ordonansi ini adalah dapat digunakan untuk menekan Islam yang dikuatkan dengan alas an stabilitas keamanan.

Perkembangan berikutnya adalah pada tahun 1905 tersebut akhirnya dicabut, karena dianggap tidak relevan lagi, dan diganti dengan ordonansi tahun 1925, yang isinya hanya mewajibkan guru-guru agama untuk memberitahu bukan meminta izin.

Selain Ordonansi Guru pemerintah Hindia Belanda juga memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar. Ketentuan ini mengatur bahwa penyelenggaraan pendidikan harus terlebih dahulu mendapatkan ijin dari pemerintah. Laporan-laporan mengenai kurikulum dan keadaan sekolahpun harus diberikan secara berkala. Ketidaklengkapan laporan sering dijadikan alasan untuk menutup kegiatan pendidikan dikalangan masyarakat tertentu. Karena kebiasaan lembaga pendidikan Islam yang masih belum tertata, Ordonansi itu dengan sendirinya menjadi faktor penghambat. Reaksi negatif terhadap Ordonansi Sekolah Liar ini juga datang dari para penyelenggera pendidikan diluar gerakan Islam.

Reaksi umat Islan terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda itu dapat dikelompokkan dalam dua corak : (1) defensif dan (2) progresif. Corak defensif ditunjukkan dengan menghindari sejauh mungkin pengaruh politik Hindia Belanda itu terhadap sistem pendidikan Islam. Sikap ini terlihat dalam sistem pendidikan tradisional pesantren yang sepenuhnya mengambil jarak dengan pemerintah penjajah. Disamping mengambil lokasi di daerah-daerah terpencil, pesantren juga mengembangkan kurikilum tersendiri yang hampir seluruhnya berorientasi pada pembinaan mental keagamaan. Pesantren dalam hal ini memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan yang menjadi benteng pertahanan umat atas penetrasi penjajah, khususnya dalam bidang pendidikan. Dengan posisi defensif ini, pesantren pada kenyataannya memang bebas dari campur tangan pemerintah Hindia Belanda, meskipun dengan resiko harus terasing dari perkembangan masyarakat modern.

Corak responsi umat Islam juga bersifat progresif, yang memandang bahwa tekanan pemerintah Hindia Belanda itu merupakan kebijaksanaan diskriminatif. Usaha umat Islam dalam bidang pendidikan dengan demikian adalah bagaimana mencapai kesetereen dan kesejajaran, baik dari sudut kelembagaan maupun kurikulum. Ketergantungan pada tekanan penjajah justru akan melemahkan posisi umat Islam sendiri. Begitupun sebaliknya, membiarkan sikap defensif terus menerus, akan semakin memberi ruang yang lapang bagi gerakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan upaya mengembangkan lembega-lembaga pendidikan secara mandiri yang produknya sama dengan sekolah ala Belanda, tetapi tidak tercerabut dari akar keagamaannya. Wujud konkrit dari upaya ini adalah tumbuh dan berkembangnya sekolah Islam atau madrasah diberbagai wilayah, baik di Jawa maupun di luar Jawa.


C. PENUTUP

1. Kesimpulan

  1. Kebijakan pendidikan Islam yaitu suatu keputusan dan sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) agar dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologis atau gaya pandang umat yang religius dan yang sesuai dengan cita-cita dan harapan Bangsa.

  2. Zaman kerajaan Pasai sebagai berikut: Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syari’at adalah Fiqh mazhab Syafi’i. Sistem pendidikannya secara informal berupa majlis ta’lim dan halaqoh. Tokoh pemerintahan merangkap tokoh agama. Biaya pendidikan bersumber dari negara. 

  3. Kerajaan Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam Dayah Cot Kala. Dayah disamakan dengan Perguruan Tinggi, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Daerahnya kira-kira dekat Aceh Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran Teungku Chik M. Amin, pada akhir abad ke-3 H, abad 10 M. Inilah pusat pendidikan pertama. 

  4. Sistem pelaksanaan pendidikan dan pengajaran agama Islam di Demak mempunyai kemiripan dengan pelaksanaannya di Aceh, yaitu dengan mendirikan masjid di tempat-tempat sentral di suatu daerah. Disana diajarkan pendidikan agama di bawah pimpinan seorang Badal untuk menjadi guru, yang menjadi pusat pendidikan dan pengajaran serta sumber agama Islam. 

  5. Kebijakan pendidikan pada zaman kerajaan Mataram yaitu: waktu belajar ialah pagi, siang, dan malam hari. Kitab-kitab yang diajarkan ditulis dalam bahasa arab lalu diterjemahkan ke dalam bahasa daerah. Pelajarannya antara lain Usul 6 Bis, kemudian matan Taqrib, dan Bidayatul Hidayah karya Imam Ghazali dalam ilmu akhlak. Pengajarannya dilakukan dengan sorongan, seorang demi seorang bagi murid pemula dan halaqah bagi pelajar lanjutan.


2. Saran

Demi kesempurnaan makalah ini, penulis mengharap saran dan kritikan yang membangun dari rekan dan para pembaca sekalian.


 DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005.

A. Abdullah Mustofa, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999.

Departemen Agama, Rekontruksi Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta: Departemen Agama RI, 2005.

Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Bandung: Refika Aditama, 2005

Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1980.

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan& Perkembangan, Jakarta: Rajawali Press, 1995.

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Ibrahim, M, et.al., Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta: CV. Tumaritis, 1991.

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hida Agung,1985.

Shodiq Mustafa, Wawasan Sejarah Indonesia dan Dunia, Solo: Tiga Serangkai, 2007.

Zuharini, et.al., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2000.

http://lena-unindrabioza.blogspot.com/2008/03/pendidikan-zaman-penjajahan.html

Baca juga: Proses perumusan kebijakan pendidikan

 

[1] Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hal. 4

[2] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005), hal. 45

[3] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1980), hal. 87

[4] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hida Agung,1985).

[5] Ibid

[6] Departemen Agama, Rekontruksi Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta: (Departemen Agama RI, 2005).

[7] A. Abdullah Mustofa, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999), hal: 54

[8] Zauharini, et.al., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2000, set 6) hal 135

[9] Ibrahim, M, et.al., Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta : CV. Tumaritis, 1991), cet 2 hal 61

[10] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), cet. 4 hal 29

[11] A. Abdullah Mustofa, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999), hal: 54

[12] Ibrahim, M, et.al., Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta : CV. Tumaritis, 1991), cet 2 hal 76

[13] Ibid, hal. 88

[14] Drs. Shodiq Mustafa, Wawasan Sejarah Indonesia dan Dunia, (Solo: Tiga Serangkai, 2007) h. 118

[15] Drs.Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan & Perkembangan, (Jakarta: Rajawali Press, 1995) hal. 37

[16] http://lena-unindrabioza.blogspot.com/2008/03/pendidikan-zaman-enjajahan.html


Post a Comment for "Kebijakan Pendidikan Islam Sebelum Abad ke-20"