Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Potret Hasil Politik Dan Kebijakan Pendidikan Islam Di Indonesia

Potret Hasil Politik Dan Kebijakan Pendidikan Islam Di Indonesia

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebijakan yang ditetapkan pemerintah tentang pendidikan Islam dapat  dilihat dalam sejarah perundang-undangan sistem pendidikan Nasional. Pada masa pemerintahan Indonesia yang sudah berlangsung dalam tiga masa, yaitu: orde lama, orde baru, dan orde reformasi. Indonesia memiliki tiga undang-undang yang mengatur sistem pendidikan nasional, yaitu: UU RI No. 4 Tahun 1950 Jo UU RI No. 12 Tahun 1954 pada masa orde lama; UU RI No. 2 Tahun 1989 pada masa orde baru, dan UU RI No. 20 Tahun 2003 pada masa orde reformasi.

Menurut Haidar Putra Daulay, “Pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional keberadaannya terbagi atas tiga hal. Pertama, pendidikan Islam sebagai lembaga. Kedua, pendidikan Islam sebagai mata pelajaran. Ketiga, pendidikan Islam sebagai nilai.”[1]

Tiga hal tersebut di atas dalam sejarah sistem pendidikan Nasional tidaklah secara langsung termaktub dalam undang-undang sistem pendidikan Nasional. Tiga hal tersebut mengalami perkembangan dari masa ke masa yang tidak terlepas dari permasalahan. Butuh waktu lima puluh delapan tahun (1945-2003) agar tiga hal tersebut termaktub dalam undang-undang sistem pendidikan nasional. Sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, barulah pada UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tiga hal tersebut secara utuh termaktub.

Menurut Nusa Putra dan Hendarman, “Sejumlah kebijakan pendidikan yang ditetapkan pemerintah pada kenyataannya sering mendapat kritikan dari berbagai lapisan masyarakat. Kritikan itu sangat beragam, ada yang menekankan aspek peraturan perundangan, proses implementasi dan dampak kebijakan yang telah ditetapkan terhadap berbagai kelompok di dalam masyarakat, dan aspek-aspek lain.”[2]

Pada tahun 1975, pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran mengeluarkan kebijakan berbentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 tentang Peningkatan Mutu Pendidikan Madrasah yang menghasilkan kesepakatan bahwa madrasah menduduki posisi yang sama dengan sekolah umum.


B. Rumusan Masalah

  1. Apakah Hakekat Politik Pendidikan? 
  2. Bagaimana Konsep Dasar Kebijakan Pendidikan Islam? 
  3. Apa saja Aspek-aspek yang tercakup dalam Kebijakan Pendidikan? 
  4. Bagaimana Potret hasil Politik dan Kebijakan Pendidikan Islam di Indonesia?


C. Tujuan Penulisan

  1. Untuk Mengetahui Apakah Hakekat Politik Pendidikan? 
  2. Untuk Mengetahui Bagaimana Konsep Dasar Kebijakan Pendidikan Islam? 
  3. Untuk Mengetahui Apa saja Aspek-aspek yang tercakup dalam Kebijakan Pendidikan? 
  4. Untuk Mengetahui Bagaimana Potret hasil Politik dan Kebijakan Pendidikan Islam di Indonesia?
pixabay

 

PEMBAHASAN

A. Hakikat Politik Pendidikan

Kata Politik berasal dari bahasa Inggris, Politics yang berarti permainan politik. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, politik diartikan pengetahuan tentang ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara pemerintahan dan sebagainya, dan dapat berarti pula segala urusan dan tindakan, kebijaksanaan, siasat dan sebagainya, mengenai pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain.[3] Dalam bahasa Arab kata politik dikenal dengan istilah siyasah yang berarti cipta, upaya-upaya strategis dan pengaturan tentang sesuatu.

Sedangkan politik pendidikan adalah segala usaha, kebijakan dan siasat yang berkaitan dengan masalah pendidikan. Dalam perkembangan sejarahnya, politik pendidikan adalah penjelasan atau pemahaman umum yang ditentukan oleh penguasa pendidikan tertinggi untuk mengarahkan pemikiran dan menentukan tindakan dengan perangkat pendidikan dalam berbagai kesamaan yang beraneka ragam beserta tujuan dan program untuk merealisasikanya.[4]

Berdasarkan pengertian tersebut, maka menurut Abudin Nata [5] politik pendidikan mengandung lima hal sebagai berikut:

  1. Politik pendidikan mengandung kebijakan pemerintah suatu negara. 
  2. Politik pendidikan bukan hanya berupa peraturan perundangan yang tertulis, melainkan juga termasuk kebijakan lainnya. Misalnya situasi dan kondisi sosial politik, budaya, keamanan dan hubungan pemerintah dengan dunia internasional. Meskipun kondisi tersebut tidak berkaitan secara langsung akan tetapi cukup berpengaruh terhadap proses penyelenggaraan pendidikan suatu Negara. 
  3. Politik pendidikan ditujukan untuk mensukseskan penyelenggaraan pendidikan karena pemerintah memiliki infrastruktur dan suprastruktur yang lebih kuat dalam memikul tugas dan tanggung jawab terselenggaranya pendidikan, walaupun swasta juga ikut berperan di dalamnya. 
  4. Politik pendidikan dijalankan demi tercapainya tujuan Negara. 
  5. Politik pendidikan merupakan sebuah sistem penyelenggaraan pendidikan suatu Negara.


B. Konsep Dasar Kebijakan Pendidikan Islam

Dalam bahasa Inggris kebijakan disebut public policy, yaitu suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan itu. Pada umumnya, pihak yang membuat kebijakan tersebut sekaligus mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.[6]

Menurut Syafaruddin, kebijakan adalah hasil pengambilan keputusan oleh manajemen puncak baik berupa tujuan, prinsip, maupun aturan yang berkaitan dengan hal-hal strategis untuk mengarahkan para manager dan personel dalam menentukan masa depan organisasi yang berimplikasi bagi kehidupan masyarakat.

Thomas Dye memberi batasan atas kebijakan sebagai “apa saja yang hendak dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah.”[7] Aminullah yang dikutip oleh Edi Suharto[8], menyatakan bahwa: “kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem pencapaian tujuan yang diinginkan, upaya dan tindakan dimaksud bersifat strategis yaitu berjangka panjang dan menyeluruh”.

Sedangkan Pendidikan Islam yaitu bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama (insan kamil). Ramayulis mengartikan pendidikan Islam sebagai suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam.[9]

Menurut Hasan Langgulung[10], pendidikan Islam adalah proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselarasikan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat. Langgulung menekankan pendidikan Islam pada mempersiapkan generasi muda dengan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam untuk mampu berusaha di atas dunia dan memetik hasilnya di akhirat.

Menurut Al-Absyari, pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusiawan supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan maupun tulisan. Al-Abrasy menekankan pendidikan pencapaian kesempurnaan dan kebahagiaan hidup.

Berdasarkan hasil seminar pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960 dirumuskan, pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, mengawasi berlakunya semua ajaran Islam. Pengertian di atas dikomentari oleh Abdul Mujib, bahwa pendidikan Islam berupaya mengarahkan pada keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dan perkembangan jasmani dan rohani, melalui bimbingan, pengarahan, pengajaran, pelatihan, pengasuhan dan pengawasan, yang kesemuanya dalam koridor ajaran Islam.

Sedangkan tujuan pendidikan Islam menurut Muhammad At-Toumy Asy-Syaibany, yaitu:

  1. Tujuan yang mencakup perubahan individu berupa pengetahuan, tingkah laku, jasmani dan rohani, serta kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan akhirat. 
  2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat yang mencakup tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan hidup bermasyarakat, serta memperkaya pengalaman masyarakat. 
  3. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, seni, profesi, dan sebagainya.[11]

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat penulis pahami bahwa Kebijakan pendidikan Islam adalah pengambilan keputusan rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencan dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak dalam pendidikan Islam itu sendiri.


C. Aspek-aspek yang tercakup dalam Kebijakan Pendidikan

Aspek-aspek yang tercakup dalam kebijakan pendidikan menurut H.A.R Tilaar & Riant Nugroho dalam Arif Rohman adalah sebagai berikut:[12]

  1. Kebijakan pendidikan merupakan suatu keseluruhan mengenai hakikat manusia sebagai makhluk yang menjadi manusia dalam lingkungan kemanusiaan. Kebijakan pendidikan merupakan penjabaran dari visi dan misi dari pendidikan dalam masyarakat tertentu. 
  2. Kebijakan pendidikan dilahirkan dari ilmu pendidikan sebagai ilmu praktis yaitu kesatuan antara teori dan praktik pendidikan. Kebijakan pendidikan meliputi proses analisis kebijakan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan evaluasi. 
  3. Kebijakan pendidikan haruslah mempunyai validitas dalam perkembangan pribadi serta masyarakat yang memiliki pendidikan itu. Bagi perkembangan individu, validitas kebijakan pendidikan tampak dalam sumbangannya bagi proses pemerdekaan individu dalam pengembangan pribadinya.
  4. Keterbukaan (openness). Proses pendidikan sebagai proses pemanusiaan terjadi dalam interaksi sosial. Hal ini berarti bahwa pendidikan itu merupakan milik masyarakat. Apabila pendidikan itu merupakan milik masyarakat maka suara masyarakat dalam berbagai tingkat perumusan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan pendidikan perlu mendengar suara atau saran-saran dari masyarakat. 
  5. Kebijakan pendidikan didukung oleh riset dan pengembangan. Suatu kebijakan pendidikan bukanlah suatu yang abstrak tetapi yang dapat diimplementasikan. Suatu kebijakan pendidikan merupakan pilihan dari berbagai alternatif kebijakan sehingga perlu dilihat output dari kebijakan tersebut dalam praktik. 
  6. Analisis kebijakan sebagaimana pula dengan berbagai jenis kebijakan seperti kebijakan ekonomi, kebijakan pertahanan nasional dan semua jenis kebijakan dalam kebijakan publik memerlukan analisis kebijakan. 
  7. Kebijakan pendidikan pertama-tama ditujukan kepada kebutuhan peserta didik. Kebijakan pendidikan seharusnya diarahkan pada terbentuknya para intelektual organik yang menjadi agen-agen pembaharuan dalam masyarakat bangsanya. 
  8. Kebijakan pendidikan diarahkan pada terbentuknya masyarakat demokratis. Peserta didik akan berdiri sendiri dan mengembangkan pribadinya sebagai pribadi yang kreatif pendukung dan pelaku dalam perubahan masyarakatnya. Kebijakan pendidikan haruslah memfasilitasi dialog dan interaksi dari peserta didik dan pendidik, peserta didik dengan masyarakat, peserta didik dengan negaranya dan pada akhirnya peserta didik dengan kemanusiaan global. 
  9. Kebijakan pendidikan berkaitan dengan penjabaran misi pendidikan dalam pencapaian tujuan-tujuan tertentu. Apabila visi pendidikan mencakup rumusan-rumusan yang abstrak, maka misi pendidikan lebih terarah pada pencapaian tujuan-tujuan pendidikan yang konkret. Kebijakan pendidikan merupakan hal yang dinamis yang terus menerus berubah namun terarah dengan jelas. 
  10. Kebijakan pendidikan harus berdasarkan efisiensi. Kebijakan pendidikan bukan semata-mata berupa rumusan verbal mengenai tingkah laku dalam pelaksanaan praksis pendidikan. Kebijakan pendidikan harus dilaksanakan dalam masyarakat, dalam lembagalembaga pendidikan. Kebijakan pendidikan yang baik adalah kebijakan pendidikan yang memperhitungkan kemampuan di lapangan, oleh sebab itu pertimbangan-pertimbangan kemampuan tenaga, tersedianya dana, pelaksanaan yang bertahap serta didukung oleh kemampuan riset dan pengembangan merupakan syarat-syarat bagi kebijakan pendidikan yang efisien. 
  11. Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan pada kekuasaan tetapi kepada kebutuhan peserta didik. Telah kita lihat bahwa pendidikan sangat erat dengan kekuasaan. Menyadari hal itu, sebaiknya kekuasaan itu diarahkan bukan untuk menguasai peserta didik tetapi kekuasaan untuk memfasilitasi dalam pengembangan kemerdekaan peserta didik. Kekuasaan pendidikan dalam konteks masyarakat demokratis bukannya untuk menguasai peserta didik, tetapi kekuasaan untuk memfasilitasi tumbuh kembang peserta didik sebagai anggota masyarakat yang kreatif dan produktif. 
  12. Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan intiusi atau kebijaksanaan yang irasional. Kebijakan pendidikan merupakan hasil olahan rasional dari berbagai alternatif dengan mengambil keputusan yang dianggap paling efisien dan efektif dengan memperhitungkan berbagai jenis resiko serta jalan keluar bagi pemecahannya. Kebijakan pendidikan yang intuitif akan tepat arah namun tidak efisien dan tidak jelas arah sehingga melahirkan pemborosan-pemborosan. Selain itu kebijakan  intuitif tidak perlu ditopang oleh riset dan pengembangannya. Verifikasi terhadap kebijakan pendidikan intuitif akan sulit dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu sehingga bersifat sangat tidak efisien. Kebijakan intuitif akan menjadikan peserta didik sebagaikelinci percobaan. 
  13. Kejelasan tujuan akan melahirkan kebijakan pendidikan yang tepat. Kebijakan pendidikan yang kurang jelas arahnya akan mengorbankan kepentingan peserta didik. Seperti yang telah dijelaskan, proses pendidikan adalah proses yang menghormati kebebasan peserta didik. Peserta didik bukanlah objek dari suatu projek pendidikan tetapi subjek dengan nilai-nilai moralnya. 
  14. Kebijakan pendidikan diarahkan bagi pemenuhan kebutuhan peserta didik dan bukan kepuasan birokrat. Titik tolak dari segala kebijakan pendidikan adalah untuk kepentingan peserta didik atau pemerdekaan peserta didik.[13]


D. Potret Hasil Politik Dan Kebijakan Pendidikan Islam di Indonesia

Dalam perkembangan pendidikan di Indonesia, tercatat tiga kali Negara mengubah sistem pendidikan Nasional. Perubahan sistem pendidikan nasional tersebut, selain didasarkan atas pertimbangan penyesuaian tuntutan atas perbaikan dan penataan sistem yang dapat berimplikasi terhadap peningkatan dan penjaminan mutu pendidikan, juga atas pertimbangan kepentingan kemana arah sistem pemerintahan yang sedang berjalan sesuai era-nya masing-masing. Oleh karena itu, pengambilan keputusan di bidang pendidikan merupakan bentuk penyesuaian atas berbagai kepentingan yang ada pada zamannya masing-masing.

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, lahir kebijakan Negara dalam bentuk Undang-undang Nomor 4 tahun 1950 tentang Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Jo. Nomor 12 tahun 1954 tentang pernyataan berlakunya Undang-undang Nomor 4 tahun 1950 untuk seluruh Indonesia. Ditinjau dari aspek politik, penetapan kebijakan tersebut, terjadi polemik pemangku kepentingan antara kekuatan nasionalis islamis yang diwakili oleh tokoh –tokoh Muslim dari organisasi politik Masyumi, PSII, NU. Di sisi lain kekuatan kelompok nasional Partai Nasional Indonesia dan nasionalis sekuler (Partai Sosialis Indonesia, PKI, Parkindo, Partai Murba) sebagai faktor dominan dalam pengambilan keputusan terhadap bidang pendidikan.

Hal ini yang menjadi tantangan terberat pemerintahan Soekarno, menyelesaikan konflik ideologi sekuler dan ideologi agama. Kedua ideologi secara politik masing-masing saling mempengaruhi dalam pengambilan kebijakan di bidang pendidikan. Kalau pemimpin nasionalis sekuler cenderung melihat sistem pendidikan nasional sebagai program sekuler untuk memenuhi kebutuhan sekuler bangsa, maka pemimpin nasionalis agama cenderung memandang sistem pendidikan nasional sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan agama bangsa.[14]

Kekalahan kelompok intelegensia Muslim dari partai Islam sangat berpengaruh terhadap isi dan materi undang-undang sistem pendidikan nasional yang dianggap diskriminatif antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Pasalnya kebijakan ini belum berpihak kepada pendidikan Islam sebagai kebutuhan dasar umat Islam di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 10 ayat 2 yang menyatakan bahwa “Belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama  dianggap telah memenuhi kewajiban belajar”.[15]

Selain itu, pasal yang dianggap diskriminatif antara pendidikan umum dengan pendidikan agama terdapat pada pasal 2 ayat 1 yaitu “Undang-undang ini tidak berlaku untuk pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah agama dan pendidikan masyarakat.[16]

Secara konsep Undang-undang tersebut bersifat nasional dan demokratis, namun dalam tataran operasionalnya belum berjalan dengan baik karena dilatari oleh dua hal, pertama, kekuatan ekonomi dan budaya akademis masih sangat rendah, sisa-sisa pembodohan dan pemiskinan zaman penjajahan masih sangat mengental di kalangan masyarakat. Kedua, pemerintah tampil semakin intensif dan mendominasi pada tatanan kehidupan. Pemerintah mengintrodusir sistem pemerinitahan dengan inti kekuatan “nasakom” yaitu nasional, agama dan komunis, manifesto politik demokrasi terpimpin, dan pada saat yang bersamaan Partai Komunis Indonesia mengalami masa kejayaan dalam menguasai politik penyelenggara Negara.[17]

Dari kenyataan itu, penyelenggara Negara lebih terfokus pada aspek politik dengan ideologi politik nasional sekuler yang mempengaruhinya. Akibatnya adalah amanat Undang-undang Nomor 4 tahun 1950 dan Nomor 12 tahun 1954 semakin jauh dari kontentnya yang nasionalis dan demokratis. Selain itu, keberadaan lembaga-lembaga pendidikan praktis menjadi pusat kegiatan doktrin penyelenggara pemerintah yaitu nasakom, manipol usdek, lembaga pendidikan tidak lagi berorientasi sebagai peningkatan kualitas peserta didik, tetapi berorientasi kepada kekuasaan.[18]9

Demikian pula tentang pendidikan agama belum mendapat perhatian yang serius karena terjadi dikotomis kelembagaan dan keilmuan antara pendidikan agama dengan pendidikan umum. Mencermati kebijakan pemerintah tentang sistem pendidikan nasional di masa pemerintahan Presiden Soekarno, sangat dipengaruhi oleh ideologi sekuler serta dipengaruhi oleh sistem pendidikan masa Pemerintah Belanda yang menerapkan sistem pendidikan sekuler. Penerapan sistem pendidikan yang demikian disebabkan oleh perbedaan pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan Negara dan perbedaan ideologi politik di kalangan elit politik dalam pengambilan keputusan Negara.

Secara politik terjadi tarik menarik pemangku kepentingan antara kekuatan kelompok nasional agamis dengan kelompok nasional sekuler dalam merumuskan berbagai kebijakan yang memberi arah kemana Negara ini dibawa.

Masa-masa awal kepemimpinan Soekarno tahun 1945-1950 corak kehidupan masyarakat masih mencari jalan baru yang lebih pas dengan kebutuhan, kemampuan, situasi dan tradisi, karena baru terlepas dari cengkraman penjajah selama 350 tahun. Hal ini turut mempengaruhi penetapan kebijakan pemerintah tentang sistem pendidikan nasional yang mengalienasi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional.

Sesudah pergantian kekuasaan dari pemerintah Presiden Soekarno ke pemerintah orde baru tahun 1966, maka sistem pemerintahan yang baru, mengalami sebuah perubahan selama 32 tahun berkuasa, dengan pola kebijakan pada aspek trilogi pembangunan yaitu pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas nasional yang terfokus pada program bidang ekonomi, stabilitas keamanan dan politik, serta bidang pertanian. Dalam melaksanakan program ini, pemerintahan orde baru didukung oleh  kekuatan militer, kekuatan politik Golongan Karya dan kekuatan birokrasi yang menerapkan sistem pemerintahan sentralistik.

Haligan dan Turner menulis sistem pemerintahan orde baru dikendalikan oleh kekuatan militer sebagai sumber utama kekuasaan Presiden Soeharto. Hal ini memungkinkan Presiden melembagakan beberapa perubahan yang memperketat garis komando dan kendali menuju sentralisasi kewenangan. Militer sangat penting dalam menerapkan kebijakan sentralisasi yang membawa seluruh kepulauan yang luas dibawa kendali ketatpemerintah pusat.[19] Situasi tersebut mendapat dukungan dari kekuatan politik golongan karya, pemimpin sipil, teknokrat dan mahasiswa atas dasar pertimbangan stabilitas nasional.

Melalui penerapan sistem penyelenggaraan pemerintahan tersebut, dapat berpengaruh terhadap penerapan sistem pendidikan nasional. Politik kebijakan pendidikan orde baru telah menggiring pendidikan kepada sistem yang sentralistik.[20] Kebijakan dalam segala bidang selalu dikontrol oleh pemerintah pusat dalam rangka menyosialisasi ideology politik yang dianut oleh pemerintah. Karena itu, pendidikan dijadikan sebagai sarana untuk mendukung dan melanggengkan kekuasaan.

Dari aspek ini dapat dipahami bahwa politik dan pendidikan saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Hal ini sesuai dengan teori yang dikembangkan oleh M. Sirozi bahwa hubungan antara pendidikan dan politik saling terkait karena pendidikan berperan besar dalam integrasi sistem politik. Apabila pendidikan tidak sanggup perperan menjalankan fungsi integratifnya akan muncul tekanan dan hambatan yang harus dihadapi oleh sistem politik. Karena itu, pendidikan di masa orde baru selalu berafiliasi kepada ideologi politik pemerintah.

Kenyataan ini sangat berpengaruh terhadap pengambilan kebijakan pendidikan dalam Undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Agenda pembahasan Undang-undang sisdiknas tersebut, banyak mendapat dukungan dan tidak sedikit yang kontra bahkan mengecam atas isi dari kebijakan Negara tentang pendidikan nasional.

Kebijakan Negara dalam Undang-undang Sisdiknas yang baru, dianggap oleh masyarakat bahwa pemerintah hanya mengejar agendanya sendiri dalam rancangan maupun menetapkan isi dari Undang-undang sisdiknas. Kebijakan pendidikan masih didominasi oleh kepentingan pemerintah bersama pendukungnya, tidak menanggapi keinginan masyarakat yang menghendaki pendidikan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan.[21]

Pada tataran operasional, politik kebijakan pendidikan dalam sistem pendidikan nasional di masa orde baru sangat dirasakan praktik pendidikan, antara lain:

  1. Sistem pendidikan yang sentralistik; kerja pendidikan diatur secara otoritatif dari pemerintah pusat sampai ke daerah-daerah pada tingkat dan satuan pendidikan mengenai kurikulum, metode ajar, materi ajar, tenaga kependidikan, sistem penilaian, dana, sarana, dan ijazah. 
  2. Penyelenggaraan yang jauh dari sikap demokratis, diskriminatif antara sekolah negeri dan swasta, sekolah umum, kejuruan dan keagamaan, diskriminatif pendanaan, sarana, pengakuan ijazah, semuanya ditentukan oleh pemerintah bukan oleh pengguna jasa pendidikan. 
  3. Penyelenggaraan lembaga pendidikan dilaksanakan dibawa otoritas kekuasaan melalui sistem administrasi yang ketat.[22]

Dalam kaitan ini, pendidikan pada semua jenjang dan satuannya masa orde baru lebih mementingkan aspek kognitif. Aspek afektif dan psikomotorik belum sepenuhnya mendapat perhatian. Kondisi ini menyebabkan pendidikan nasional tidak mampu menghasilkan orang-orang yang mandiri, kreatif, memiliki self awareness, dan orang-orang yang mampu berkomunikasi secara baik dengan lingkungan pisik dan sosial dalam komunitas kehidupannya.

Keadaan pendidikan yang demikian menjadikan peserta didik maupun masyarakat menjadi tidak berdaya karena sistem pendidikan diatur secara seragam berdasarkan keinginan dan kemauan para pemangku kepentingan penyelenggara Negara.

Demikian halnya dengan pendidikan agama dianggap dikotomis dengan pendidikan umum, karena kebijakan Negara lebih berpihak pada pendidikan umum sehingga terkesan diskriminatif. Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang sisdiknas tidak secara kuat memberikan peluang dan isyarat pendidikan agama untuk mengintegrasikan dirinya dengan pendidikan umum, dan sebaliknya mengintegrasikan pendidikan umum ke dalam pendidikan agama. Terjadinya ketidakmampuan mengintegrasikan secara ideal agama terhadap ilmu karena agama masih diajarkan secara terpisah-pisah atau ekslusive, siswa hanya mengetahui agamanya masing-masing dan diajarkan dengan otoritas agama melalui metode dogmatis.

Hal ini menjadi dasar pertimbangan para tokoh Muslim secara konsistem memperjuangkan dalam kebijakan Negara agar pendidikan agama dijadikan sebagai sub sistem dari pendidikan nasional dan wajib dimasukkan ke dalam Undang-undang sisdiknas untuk ajarkan pada sekolah dan perguruan tinggi umum.

Perjuangan para tokoh-tokoh Muslim seperti K.H. Moh. As’at Oemar, Basuni Suriamiharja, Syarif Thayib, K.H. Hasan Basri, Yusuf Hasyim, Syamsul Arifin, Yunan Nasution, Yusril Ihza Mahendra, Abdurrahman Wahid, H.J Naro dapat dilihat pada proses rancangan Undang-undang sisdiknas tahun 1989 sampai pada penetapan Undang-undang tersebut.

Kekuatan kepentingan Muslim dalam penetapan Undang-undang sisdiknas mendapat respon positif dari pemangku kepentingan, pemerintah dan DPR, sehingga pendidikan agama dianggap penting untuk diajarkan di sekolah umum dan sebagai sub sistem dari sistem pendidikan nasional di masa pemrintahan orde baru.

Sesudah masa pemerintahan orde baru berkuasa selama 32 tahun, lahir era baru yang disebut masa pemerintahan reformasi tahun 1998. Masa ini diawali oleh tuntutan para mahasiswa agar pemerintah memberi ruang kebebasan berpendapat dan berbeda pendapat, demokratisasi dan otonomi daerah. Berbagai kebijakan Negara seperti Undang-undang nomor 22 tahun 1999 yang direvisi menjadi Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Demikian pula dalam bidang pendidikan disusun Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan pertimbangan bahwa sistem pendidikan harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global sehingga perlu dilakukan pembaruan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan.[23]

Untuk pelaksanaannya kebijakan tersebut, diberikan ruang yang seluas-luasnya kepada daerah dalam merencanakan, menyelenggarakan, memberi pelayanan, mengevaluasi dan mengembangkan bidang pendidikan kepada pemerintah daerah agar tercipta rasa keadilan, demokratisasi otonomi kepada daerah untuk pelayanan yang cepat, tepat, efisien dan murah dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan.

Dalam kaitan ini, ada empat program pendidikan yang menjadi agenda perbaikan sistem pendidikan nasional di era reformasi. Ke empat program di bidang pendidikan yaitu:

  1. Peningkatan mutu pendidikan, 
  2. Efisiensi pengelolaan pendidikan,   
  3. Relevansi pendidikan, dan 
  4. Pemerataan pelayanan pendidikan.[24]

Dari empat isu utama di bidang pendidikan di dasarkan kepada keinginan dan tuntutan bangsa Indonesia berkaitan dengan peningkatan kualitas serta mempermudah dan mempercepat pelayanan di bidang pendidikan.

Selain itu, paradigma baru dalam bidang pendidikan adalah menjadikan pendidikan agama sebagai salah satu isu utama dalam setiap kebijakan pemerintah, baik dalam substansi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas maupun Peraturan Pemerintah yang mengikutinya, karena dianggap bahwa agama sebagai dasar pembentukan karakter bangsa, pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya.

Dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sisdiknas disebutkan pendidikan agama dalam beberapa pasal yaitu pasal 12 ayat 1 (a) “setiap peseta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Demikian pula pasal 37 tentang kurikulum “Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama (ayat 1 a)” pada ayat 2 (a) “Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan dan bahasa”

Pasal dalam Undang-undang sisdiknas tersebut di atas, menjadi bahan diskusi dan perdebatan panjang antar pemangku kepentingan dan berbedaan ideologi penganut agama di kalangan masyarakat maupun perdebatan yang alot di tingkat fraksi DPR-RI saat pembahasan maupun saat penetapan Undang-undang sisdiknas tahun 2003. Umat Islam sangat gigih memperjuangkan untuk disahkannya Undang-undang sisdiknas yang didukung oleh kekuatan anggota partai yang memiliki basis keislaman yang kuat di DPR-RI hasil pemilihan umum tahun 1999. Perjuangan umat Islam didasarkan pada anggapan bahwa Undang-undang tersebut telah mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan umat Islam.

Di sisi yang lain kekuatan dari basis ideologi yang berbeda, berada pada pihak yang menolaknya, baik mereka yang berada dalam sistem di DPR-RI maupun yang berada di luar sistem terus berorasi, melakukan lobi-lobi dan mengerahkan massa, memuat media cetak dan elektronik dalam rangka menyusun segenap kekuatan masing-masing untuk memenangkan pengesahan Undang-undang sisdiknas.

Disahkannya Undang-unadang sisdiknas menjadi bukti kekuatan umat Islam sebagai kekuatan mayoritas dalam perumusan pasal-pasal yang berkaitan dengan agama sehingga kepentingan umat Islam dapat terakomodir dalam kebijakan Negara tentang pendidikan nasional.

Dari aspek ini dapat dipahami bahwa masalah pendikan adalah masalah kebutuhan pokok yang tidak dapat dipisahkan dari berbagai kepentingan sehingga menjadi aspek penting untuk terus diperjuangkan terutama dalam masalah agama dan kegamaan dalam sistem pendidikan nasional.

PENUTUP

A. Kesimpulan

  1. Politik Pendidikan adalah segala usaha, kebijakan dan siasat yang berkaitan dengan masalah pendidikan. 
  2. Kebijakan pendidikan Islam adalah pengambilan keputusan rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencan dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak dalam pendidikan Islam itu sendiri. 
  3. Aspek-aspek yang tercakup dalam Kebijakan Pendidikan di antaranya adalah: a) Kebijakan pendidikan merupakan suatu keseluruhan mengenai hakikat manusia sebagai makhluk yang menjadi manusia dalam lingkungan kemanusiaan, b) Kebijakan pendidikan merupakan penjabaran dari visi dan misi dari pendidikan dalam masyarakat tertentu, c) Kebijakan pendidikan dilahirkan dari ilmu pendidikan sebagai ilmu praktis, d) Kebijakan pendidikan haruslah mempunyai validitas dalam perkembangan pribadi serta masyarakat yang memiliki pendidikan itu, e) Kebijakan pendidikan didukung oleh riset dan pengembangan, dan f) Kebijakan pendidikan pertama-tama ditujukan kepada kebutuhan peserta didik. 
  4. Potret Politik Kebijakan Pendidikan Islam di Indonesia: a) Sistem pendidikan yang sentralistik; kerja pendidikan diatur secara otoritatif dari pemerintah pusat sampai ke daerah-daerah pada tingkat dan satuan pendidikan mengenai kurikulum, metode ajar, materi ajar, tenaga kependidikan, sistem penilaian, dana, sarana, dan ijazah. b) Penyelenggaraan yang jauh dari sikap demokratis, diskriminatif antara sekolah negeri dan swasta, sekolah umum, kejuruan dan keagamaan, diskriminatif pendanaan, sarana, pengakuan ijazah, semuanya ditentukan oleh pemerintah bukan oleh pengguna jasa pendidikan, c) Penyelenggaraan lembaga pendidikan dilaksanakan dibawa otoritas kekuasaan melalui sistem administrasi yang ketat.


B. Saran

Penulis menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan, baik dari segi diksi maupun isi. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dan rekan-rekan sekalian demi kesempurnaan makalah ini. Atas kritik dan saran yang diberikan, penulis ucapkan terimakasih.


DAFTAR PUSTAKA

Abudin Nata, Manajemen Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.

Ahmad Arifin, Politik Pendidikan Islam, Yogyakarta: Teras, 2010.

Arif Rohman, Memahami Pendidikan Dan Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Mediatama, 2009

Cheppy Hari Cahyono dan Suparlan Alhakim, Ensiklopedi Politika, Surabaya: Usaha Nasional, 1982.

Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Bandung: Refika Aditama, 2005.

Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam di Indonesia dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004.

Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1980.

Himpunan Perundang-undangan, Peraturan Pemerintah RI tahun 1950, ’Dokumen Negara” (DPR-RI Nomor 45.443/1998).

Haligan dan Turner, Profiles of Government Administration in Asia, Australia Government Publishing Service Canberra, 1995.

Indra Djati Sidi, (Makalah) Kebijakan Penyelenggaraan Otonomi Daerah Bidang Pendidikan, 2000.

Kumpulan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, Dirjen Pendidikan Islam Dep. Agama RI, 2003.

Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, Peran Tokoh-Tokoh Islam dalam Penyusunan UU Sisdiknas No. 2 Tahun 1989, Jakarta: INIS, 2004.

Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Yogyakarta: SIP dan MSI UII, 2003.

Mastuhu Pendidikan Indonesia Menyongsong Indonesia Baru Pasca Orde Baru dalam Gema Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: Edisi I 1999.

Muhammad Sirozi, Politik Pendidikan dan Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Politik Penyelenggara Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

Nusa Putra dan Hendarman, Metodologi Penelitian Kebijakan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012.

W.J.S Poerdarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991.

Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, 1978.



[1] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam di Indonesia dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. I, h. 108

[2] Nusa Putra dan Hendarman, Metodologi Penelitian Kebijakan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), Cet. I, h. 93


[3] W.J.S Poerdarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hal. 763

[4] Abudin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 1

[5] Ibid, hal. 9-11

[6] Cheppy Hari Cahyono dan Suparlan Alhakim, Ensiklopedi Politika, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. 170

[7] Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, (Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, 1978), hlm. 3

[8] Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hal. 4

 [9] Ramayulis dan Samsul Nizar, Op. Cit.,, hlm. 88.

[10] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1980), hal. 87

[11] Ahmad Arifin, Politik Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Teras, 2010), hal. 41

[12] Arif Rohman, Memahami Pendidikan Dan Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Mediatama, 2009), hal. 120

[13] Ibid, hal. 141

[14] Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, Peran Tokoh-Tokoh Islam dalam Penyusunan UU Sisdiknas No. 2 Tahun 1989 (Jakarta: INIS,2004) Cet. I, h. 42

[15] Himpunan Perundang-undangan, Peraturan Pemerintah RI tahun 1950, ’Dokumen Negara” (DPR-RI Nomor 45.443/1998) h. 23

[16] Lihat Himpunan Perundang-undangan, Peraturan Pemerintah RI, tahun 1950, h. 23

[17] Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, (Yogyakarta: SIP dan MSI UII, 2003),Cet. I, h. 21

[18] Ibid

[19] Haligan dan Turner, Profiles of Government Administration in Asia (Australia Government Publishing Service Canberra1995), hal. 38

[20] Mastuhu Pendidikan Indonesia Menyongsong Indonesia Baru Pasca Orde Baru dalam Gema Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan (Jakarta: Edisi I 1999), hal. 17

[21] Muhammad Sirozi, Politik Pendidikan dan Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Politik Penyelenggara Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007),h. 47. Lihat pula Hamlan, “Disertasi”, Kebijakan Pemerintah tentang Madrasah. h. 179

[22] Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan. hal. 23

[23] Kumpulan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, (Dirjen Pendidikan Islam Dep. Agama RI, 2003), hal. 4

[24] Indra Djati Sidi, (Makalah) Kebijakan Penyelenggaraan Otonomi DaerahBidang Pendidikan, 2000, Lihat pula Hamlan, “Disertasi” Kebijakan Pemerintah tentang Madrasah, h. 255

Semoga bermanfaat....

Rikaariyani.com


Post a Comment for "Potret Hasil Politik Dan Kebijakan Pendidikan Islam Di Indonesia "