Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kebijakan Pendidikan Islam Era Pra Kemerdekaan (1900-1945)

Kebijakan Pendidikan Islam Era Pra Kemerdekaan (1900-1945) 

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Pendidikan di Indonesia pada zaman sebelum kemerdekaan dapat digolongkan ke dalam tiga periode, yaitu: Pendidikan yang berlandaskan ajaran keagamaan, Pendidikan yang berlandaskan kepentingan penjajahan, dan Pendidikan dalam rangka perjuangan kemerdekaan.

Pendidikan berlandaskan ajaran Islam dimulai sejak datangnya para saudagar asal Gujarat India ke Nusantara pada abad ke-13. Kehadiran mereka mula-mula terjalin melalui kontak teratur dengan para pedagang asal Sumatra dan Jawa. Ajaran Islam mula-mula berkembang di kawasan pesisir, sementara di pedalaman agama Hindu masih kuat.[1]

Sedangkan pendidikan agama Islam di masa prakolonial dalam bentuk pengajian Al Qur’an dan pengajian kitab yang di selenggarakan di rumah-rumah, surau, masjid, pesantren dan lain-lain. Kitab-kitab ini adalah menjadi ukuran bagi tinggi rendahnya ilmu agama seseorang.[2] Pendidikan Islam yang sederhana ini sangat kontras dengan pendidikan barat yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada abad ketujuh belas. Pada perkembangan selanjutnya pendidikan Islam mengalami perubahan bentuk baik dari segi kelembagaan, materi pengajaran, metode maupun struktur organisasinya sehingga melahirkan suatu bentuk yang baru yang disebut madrasah.

Di dalam makalah ini, penulis khusus membahas tentang bagaimana kebijakan pendidikan Islam pada era pra kemerdekaan.

B. Rumusan Masalah

  1. Apa Pengertian Kebijakan Pendidikan? 
  2. Bagaimana Kebijakan Pendidikan Islam Di Masa Kolonialisme Belanda? 
  3. Bagaimana Peranan Organisasi Keagamaan dalam Pendidikan Islam sebelum Kemerdekaan?
  4. Bagaimana Kebijakan Pendidikan Islam di masa Pendudukan Jepang? 
  5. Apa saja bentuk Lembaga Pendidikan Islam Sebelum Kemerdekaan?


C. Tujuan Penulisan

  1. Untuk Mengetahui Pengertian Kebijakan Pendidikan 
  2. Untuk Mengetahui Bagaimana Kebijakan Pendidikan Islam Di Masa Kolonialisme Belanda. 
  3. Untuk mengetahui Bagaimana Peranan Organisasi Keagamaan dalam Pendidikan Islam sebelum Kemerdekaan. 
  4. Untuk mengetahui Bagaimana Kebijakan Pendidikan Islam di masa Pendudukan Jepang. 
  5. Untuk mengetahui Apa saja bentuk Lembaga Pendidikan Islam Sebelum Kemerdekaan.

pixabay


BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Kebijakan Pendidikan

Dalam Ensiklopedi Politika, kebijakan disebut dengan istilah “kebijaksanaan,” yang dalam bahasa Inggris juga disebut dengan public policy, policy ataupun beleid, yaitu suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan itu. Pada umumnya, pihak yang membuat kebijaksanaan tersebut sekaligus mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.[3]

Menurut Budiarjo kebijakan adalah sekumpulan keputusan yang diambil oleh seseorang atau kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.[4] Menurut Anderson yang dikutip oleh Ali Imron kebijakan adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang mesti diikuti oleh para pelakunya untuk memecahkan suatu masalah.[5]

Sedangkan pendidikan yaitu bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap peserta didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi.

Bila kata kebijakan dikaitkan dengan kata pendidikan maka akan menjadi kebijakan pendidikan (educational policy). Pengertian kebijakan pendidikan sebagaimana dikutip oleh Ali Imran dari Carter V. Good bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu pertimbangan yang didasarkan atas sistem nilai dan beberapa penilaian terhadap faktor-faktor yang bersifat situsional. Pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengoperasikan pendidikan yang bersifat melembaga serta merupakan perencanaan umum yang dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil keputusan agar tujuan yang bersifat melembaga dapat tercapai.[6]

Kebijakan pendidikan merupakan salah satu kebijakan negara di samping kebijakan-kebijakan lainnya seperti ekonomi, politik, pertahanan, agama dan sebagainya. Kebijakan pendidikan adalah kebijakan publik di bidang pendidikan. Ensiklopedia menyebutkan bahwa kebijakan pendidikan berkenaan dengan kumpulan hukum atau aturan yang mengatur pelaksanaan sistem pendidikan, yang tercakup di dalamnya tujuan pendidikan dan bagaimana mencapai tujuan tersebut.[7]

Secara teoritik, suatu kebijakan pendidikan dirumuskan dengan mendasarkan diri pada landasan pemikiran yang lebih ilmiah empirik. Kajian ini menggunakan pola pendekatan yang beragam sesuai dengan faham teori yang dianut oleh masing-masing penentu kebijakan.


B. Kebijakan Pendidikan Islam Di Masa Kolonialisme Belanda

Pemerintah Belanda mulai menjajah Indonesia pada tahun 1619 yaitu ketika Jan Pieter Coen menduduki Jakarta.[8] Kemudian Belanda satu demi satu memperluas jajahannya ke berbagai daerah. Belanda datang ke Indonesia bermotif ekonomi, politik dan agama. Tahun 1882 M pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus untuk mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam. Selanjutnya pada tahun 1932 M keluar peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberi pelajaran yang tidak disukai penjajah.[9]

Pendidikan Islam di Indonesia pada masa penjajahan menurun kualitasnya dibandingkan masa sebelumnya. Belanda sebagai penjajah pada masa itu tidak memperdulikan perkembangan pendidikan di Indonesia terutama Islam karena Belanda sendiri menganut agama nashroni dan bahkan Belanda cenderung menghalangi pendidikan Islam di Indonesia.

Pada masa penjajahan Belanda, bangsa Indonesia berhasil dijadikan bangsa yang sangat lemah dalam segala sektor kehidupan. Penduduk yang berpendidikan jumlahnya sangat sedikit. Pendidikan hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat tertentu. Penduduk pribumi umumnya tidak mendapat kesempatan memperoleh pendidikan yang layak.

Kebijakan pemerintah Belanda terhadap pendidikan Islam pada dasarnya bersifat menekan karena kekhawatiran akan timbulnya militansi kaum muslimin terpelajar. Bagi pemerintahan penjajah, pendidikan di Hindia Belanda tidak hanya bersifat pedagogis cultural tetapi juga psikologis politis. Pandangan ini pada satu pihak menimbulkan kesadaran bahwa pendidikan dianggap begitu vital dalam upaya mempengaruhi kebudayaan masyarakat.

Ada dua ciri khas pendidikan Islam di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. Pertama, adalah dikotomis yaitu suatu keadaan/sikap saling bertentangan. Kedua, adalah diskriminatif dimana setiap guru agama Islam harus meminta izin terlebih dahulu sebelum melaksanakan tugas sebagai guru agama yang pada akhirnya mendapat reaksi keras dari umat Islam.

1.  Dikotomis

Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah pertentangan antara pendidikan Belanda (HIS, MULO, AMS, dan lain-lain), dengan pendidikan Islam (Pesantren, dayah, surau). Pertentangan ini dapat dilihat dari sudut ilmu yang dikembangkan. Di sekolah-sekolah Belanda dikembangkan ilmu-ilmu umum (ilmu-ilmu sekuler). Pemerintah penjajah Belanda tidak mengajarkan pendidikan agama sama sekali di sekolah-sekolah yang mereka asuh. Pemerintah Hindia Belanda mempunyai sikap netral terhadap pendidikan agama di sekolah-sekolah umum, ini dinyatakan dalam Pasal 179 (2) I.S (Indishe Staatsregeling) dan dalam berbagai ordonansi. Singkatnya dinyatakan sebagai berikut: Pengajaran umum adalah netral, artinya bahwa pengajaran itu diberikan dengan menghormati keyakinan agama masing-masing. Pengajaran agama hanya boleh diberikan di luar jam sekolah.

Upaya-upaya untuk memasukkan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum telah beberapa kali diusulkan lewat Volksraad, tetapi tetap ditolak oleh pemerintah Belanda. Dan hal ini berlangsung sampai akhir pemerintahan Belanda di Indonesia. Sedangkan di lembaga pendidikan Islam dalam hal ini di pesantren, pendidikan yang diberikan adalah pendidikan keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Dengan demikian suasana pendidikan dikotomis itu amat kentara di zaman penjajahan Belanda.

Berkaitan dengan itu kedua lembaga pendidikan ini (sekolah dan pesantren) memiliki filosofi yang berbeda yang sekaligus melahirkan output yang memiliki orientasi yang berbeda pula. Pada waktu itu perbedaan yang tajam antara ilmu agama dan ilmu umum menyebabkan munculnya sistem pendidikan umum dan sistem pendidikan agama pada fase terakhir abad ke-19, serta dilanjutkan dan diperkuat pada abad ke-20.

2. Diskriminatif

Pemerintah Belanda memberikan perlakuan diskriminatif terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Diantara pelaksanaan diskriminatif diberlakukan ordonansi guru pada tahun 1905. Ordonansi itu adalah mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu sebelum melaksanakan tugas sebagai guru agama. Ordonansi ini dirasakan oleh para guru agama sangat berat, terlebih-lebih bagi guru agama yang belum memiliki administrasi sekolah. Selain itu dampak negative yang dihasilkan dari ordonansi ini adalah dapat digunakan untuk menekan Islam yang dikuatkan dengan alasan stabilitas keamanan. Perkembangan berikutnya adalah pada tahun 1905 tersebut akhirnya dicabut, karena dianggap tidak relevan lagi, dan diganti dengan ordonansi tahun 1925, yang isinya hanya mewajibkan guru-guru agama untuk memberitahu bukan meminta izin.

Selain Ordonansi Guru pemerintah Hindia Belanda juga memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar. Ketentuan ini mengatur bahwa penyelenggaraan pendidikan harus terlebih dahulu mendapatkan ijin dari pemerintah. Laporan-laporan mengenai kurikulum dan keadaan sekolahpun harus diberikan secara berkala. Ketidaklengkapan laporan sering dijadikan alasan untuk menutup kegiatan pendidikan dikalangan masyarakat tertentu. Karena kebiasaan lembaga pendidikan Islam yang masih belum tertata, Ordonansi itu dengan sendirinya menjadi faktor penghambat. Reaksi negatif terhadap Ordonansi Sekolah Liar ini juga datang dari para penyelenggera pendidikan diluar gerakan Islam.

Reaksi umat Islam terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda itu dapat dikelompokkan dalam dua corak : (1) defensif dan (2) progresif. Corak defensif ditunjukkan dengan menghindari sejauh mungkin pengaruh politik Hindia Belanda itu terhadap sistem pendidikan Islam. Sikap ini terlihat dalam sistem pendidikan tradisional pesantren yang sepenuhnya mengambil jarak dengan pemerintah penjajah. Disamping mengambil lokasi di daerah-daerah terpencil, pesantren juga mengembangkan kurikilum tersendiri yang hampir seluruhnya berorientasi pada pembinaan mental keagamaan. Pesantren dalam hal ini memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan yang menjadi benteng pertahanan umat atas penetrasi penjajah, khususnya dalam bidang pendidikan. Dengan posisi defensif ini , pesantren pada kenyataannya memang bebas dari campur tangan pemerintah Hindia Belanda, meskipun dengan resiko harus terasing dari perkembangan masyarakat modern.

Corak responsi umat Islam juga bersifat progresif, yang memandang bahwa tekanan pemerintah Hindia Belanda itu merupakan kebijaksanaan diskriminatif. Usaha umat Islam dalam bidang pendidikan dengan demikian adalah bagaimana mencapai kesetereen dan kesejajaran, baik dari sudut kelembagaan maupun kurikulum. Ketergantungan pada tekanan penjajah justru akan melemahkan posisi umat Islam sendiri. Begitupun sebaliknya, membiarkan sikap defensif terus menerus, akan semakin memberi ruang yang lapang bagi gerakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan upaya mengembangkan lembega-lembaga pendidikan secara mandiri yang produknya sama dengan sekolah ala Belanda, tetapi tidak tercerabut dari akar keagamaannya. Wujud konkrit dari upaya ini adalah tumbuh dan berkembangnya sekolah Islam atau madrasah diberbagai wilayah, baik di Jawa maupun di luar Jawa.

Terlepas dari kedua responsi diatas, umat Islam pada umumnya menolak segala bentuk ordonansi yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Umat Islam menyatakan keberatan terhadap ordonansi sehingga mereka membuat reaksi yang cukup keras.

Dibawah pengawasan dan ordonansi yang ketat oleh pemerintah Hindia Belanda, madrasah mulai tumbuh. Terdapat beberapa madrasah yang memperoleh pengakuan pemerintah meskipun masih merupakan pengakuan yang setengah-setengah. Tetapi pada umumnya madrasah-madrasah itu berdiri semata-mata karena kreasi tokoh dan organisasi tertentu tanpa dukungan dan legitimasi dari pemerintah. Kebutuhan sebagian rakyat untuk mengenyam pendidikan akhirmya terpenuhi melalui madrasah, sementera pemerintah melakukan pembatasan-pembatasan dalam sekolah-sekolah yang didirikannya sebagai wujud dari kebijaksanaan diskriminatifnya.

C. Peranan Organisasi Keagamaan dalam Pendidikan Islam sebelum
Kemerdekaan

Munculnya organisasi Islam pertama kali di Indonesia adalah sebagai upaya untuk melaksanakan ajaran Islam dan mencerdaskan bangsa. Salah satu program yang dijalankan oleh setiap organisasi Islam yaitu pada bidang pendidikan. Beberapa organisasi Islam di masa penjajahan yaitu:

1. Jamiatul Khair

Al-Jamiatul Khairiyah yang lebih dikenal dengan Jamiatul Khair didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905 yang beranggotakan mayoritas kalangan Arab. Program utamanya adalah pendirian dan pembinaan sekolah tingkat dasar serta pengiriman anak-anak muda ke Turki untuk melanjutkan pendidikan namun program ini memiliki hambatan karena kekurangan dan kemunduran kekhalifahan.[10]

Tampilnya Jamiatul Khair sebagai organisasi keagamaan berorintasi pada pembaharuan pendidikan Islam terasa sangat penting karena rganisasi ini merupakan organisasi modern dalam masyarakat Islam. Kemoderenan organisasi ini terlihat dalam anggaran dasar mata pelajaran yang diajarkan bersifat umum, keseluruhan kegiatannya didasarkan pada sistem barat.

2. Al Irsyad

Al-Irsyad adalah pecahan dari Jamiatul Khair. Al Irsyad mempunyai tujuan utama yaitu pertama merubah tradisi dan kebiasaan orang-orang Arab tentang kitab suci, bahasa Arab, bahasa Belanda dan bahasa lainnya. Kedua membangun dan memelihara gedung-gedung pertemuan sekolah dan unit percetakan. Salah satu perubahan yang dilakukan Al Irsyad adalah pembaharuan di bidang pendidikan. Pada tahun 1913 didirikan sebuah perguruan modern di Jakarta dengan sistem kelas materi pelajaran yang diberikan adalah pelajaran umum di samping pelajaran agama. Sekolah Al-Irsyad mempunyai cabang dan semuanya berada di tingkat dasar.

3. Muhammadiyah

Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 10 November 1912 bertepatan dengan 8 Zulhijjah 1330 H oleh K.H. Ahmad Dahlan. Muhammadiyah merupakan organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah dan kemasyarakatan. Tujuan didirikannya Muhammadiyah adalah untuk membebaskan umat Islam dari kebekuan dalam segala bidang kehidupan dan praktek agama yang menyimpang dari kemurnian ajaran Islam. Sebagai organisasi dakwah dan pendidikan, Muhammadiyah mendirikan lembaga pendidikan dari tingkat dasar samapai perguruan tinggi. Muhammadiyah memulai pendirian sekolah dasar pada tahun 1915 di mana pada sekolah tersebut diajarkan pengetahuan umum dan pengetahuan agama. Pada tahun 1929, Muhammadiyah telah menerbitkan 700.000 buah buku dan brosur. Pada tahun 1938 telah memiliki 31 perpustakaan umum dan 1774 sekolah.[11]

4. Persis

Persatuan Islam (PERSIS) didirikan secara resmi pada tanggal 12 September 1923 di Bandung oleh sekelompok orang Islam yang berminat dalam studi dan aktivitas keagamaan yang dipimpin oleh Zamzam dan Muhammad Yunus. Berbeda dengan organisasi lain yang berdiri pada awal abad ke-20, PERSIS mempunyai ciri khas tersendiri di mana organisasi ini di samping pendidikan juga dititikberatkan pada pembentukan faham keIslaman. Perhatian PERSIS terutama dalam menyebarkan cita-cita dan pikirannya, ini dilakukan dengan mengadakan pertemuan-pertemuan bersama tokoh-tokoh PERSIS, melakukan khotbah-khotbah, membentuk kelompok studi, mendirikan sekolah-sekolah, menerbitkan dan menyebarkan majalah dan kitab.[12]

5. Nahdatul Ulama (NU)

Nahadatul Ulama (NU) didirikan di Surabaya pada tanggal 13 Januari 1926 yang dipelopori oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah, sebagai perluasan dari komite hijaz yang dibangun untuk dua maksud yaitu pertama untuk mengimbangi komite khilafah yang secara berangsurangsur jatuh ke tangan golongan pembaharu. Kedua, untuk berseru kepada Ibnu Sa’ad penguasa baru di tanah Arab agar kebiasaan beragama secara tradisi dapat diteruskan. Pada awalnya, organisasi ini tidak mempunyai rencana yang jelas kecuali yang bersangkutan dengan masalah pergantian kekuasaan di Hijaz. Tahun 1927 baru tujuan organisasi dirumuskan, di mana organisasi ini memperkuat dan memformulasikan salah satu Madzhab (empat madzhab) untuk melakukan kegiatan yang umumnya berdasarkan ajaran Islam. Kegiatan ini meliputi usaha untuk memperkuat persatuan di kalangan ulama yang berpegang teguh pada Madzhab, pengawasan terhadap pemakaian kitab-kitab di pesantren serta penyebaran agama Islam. Nahdatul Ulama memberikan perhatian yang besar kepada pendidikan, khususnya pendidikan tradisional yang harus dipertahankan keberadaannya. Pada awal berdirinya, NU tidak membicarakan secara tegas tentang pembaharuan pendidikan namun demikian NU juga pada dasarnya dalam pembaharuan pendidikan.


D. Pendidikan Islam di masa Pendudukan Jepang

Pendidikan Islam zaman penjajahan jepang dimulai pada tahun 1942-1945. Dalam perang pasifik (perang dunia ke II), jepang memenangkan peperangan pada tahun 1942 dan berhasil merebut Indonesia dari kekuasaan belanda. Perpindahan kekuasaan ini terjadi ketika kolonial belanda menyerah tanpa syarat kepada sekutu.[13] Penjajahan jepang di Indonesia mempunyai konsep hokko ichiu (kemakmuran bersama asia raya) dengan semboyan asia untuk asia.[14]

Jepang mengumumkan rencana mendirikan lingkungan kemakmuran bersama asia timur raya pada tahun 1940. Jepang akan menjadi pusat lingkungan pengaruh atas delapan daerah yakni: manchuria, daratan cina, kepuluan muangtai, malaysia, indonesia, dan asia rusia. Lingkungan kemakmuran ini disebut dengan hakko I chi-u (delapan benang dibawah satu atap).

Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan pasifik.

Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain:

  1. Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda. 
  2. Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.

Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain:

  1. Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. 
  2. Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang; 
  3. Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin. 
  4. Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta. 
  5. Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan. 
  6. Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU.[15]

Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.Kepercayaan jepang ini dimanfaatkan juga oleh umat Islam untuk bagkit memberontak melawan jepang sendiri. Pada tanggal 8 juli 1945 berdirilah sekolah tinggi Islam di Jakarta. Kalau ditinjau dari segi pendidikan zaman jepang umat Islam mempunyai kesempatan yang banyak untuk memajukan pendidikan Islam, sehingga tanpa disadari oleh jepang sendiri bahwa umat Islam sudah cukup mempunyai potensi untuk maju dalam bidang pendidikan ataupun perlawanan kepada penjajah. Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut:

  1. Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda. 
  2. Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun. 
  3. Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian. 
  4. Pendidikan Tinggi.[16]

Beberapa tujuan pendidikan Islam ketika zaman penjajahan antara lain:

  1. Azaz tujuan muhamadiyah: mewujudkan masyarakat Islam yang sebenarnya dan azaz perjuangan dakwah Islamiyyah dan amar ma’ruf nahi Munkar. 
  2. INS (Indonesische Nadelanshe School) dipelopori oleh Muhammad syafi’i (1899-1969) bertuan memdidik anak untuk berpikir rasional, mendidik anak agar bekerja sungguh-sungguh, membentuk manusia yang berwatak dan menanam persatuan. 
  3. Tujuan Nahdlatul Ulama’, sebelum menjadi partai politik memgang teguh mahzab empat, disamping mejadi kemaslahatan umat Islam itu sendiri.[17]

E. Lembaga Pendidikan Islam Sebelum Kemerdekaan.

Pada tahap awal pendidikan Islam itu berlangsung secara informal. Para Muballigh banyak memberikan contoh teladan dalam sikap hidup mereka sehari-hari. Para Muballigh itu menunjukan akhlaqul karimah, sehingga masyarakat yang didatangi menjadi tertarik untuk memeluk agama Islam dan mencontoh perilaku mereka.

Dalam perkembangan selanjutnya, terbentuklah komunitas-komunitas Islam, yang tersebar di berbagai daerah yang selanjutnya disimbolkan dengan membangun masjid. Ulama dan guru-guru mulai berdatangan, pengajian-pengajian diselenggarakan dengan mengambil tempat di masjid-masjid. Tempat-tempat pengajian ini kemudian selanjutnya ada yang berkembang menjadi pondok pesantren, surau, langgar, bahkan sekolah hingga perguruan tinggi, Berikut ini adalah lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tengah berkembang sebagai wadah terselenggaranya pendidikan Islam di saat itu:

1. Surau

Istilah surau di minangkabau sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau dalam sistem minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang yang berpungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat dan tempat tidur bagi anak laki-laki yang telah akil baligh dan orang tua yang uzur. Fungsi surau ini semakin kuat karna struktur masyarakat minangkabau yang menganut sistem matrilineal. Menurut ketentuan bahwa laki-laki tak punya kamar dirumah orang tuanya, sehingga mereka diharuskan untuk tidur disurau. Kenyataan ini menyebabkan surau menjadi tempat penting pendewasaan generasi Minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun keterampilan lainnya.

Fungsi surau tidak berubah setelah kedatangan Islam, hanya saja fungsi keagamaannya semakin penting yang diperkenalkan pertama kali syekh Burhanuddin sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam khususnya tarekat (suluk). Sebagai lembaga pendidikan tradisional, surau menggunakan sistem pendidikan halaqoh. Materi pendidikan yang diajarkan pada awalnya masih di seputar belajar huruf hijaiyah dan membaca Al-quran. Di samping ilmu-ilmu keIslaman lainnya. Seperti keIslaman, akhlak dan ibadah, pada umumnyapendidikan ini dilaksanakan pada malam hari. Secara bertahap, eksistensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan.  


2. Meunasah

Meunasah merupakan pendidikan Islam terendah. Meunasah berasal dari kata Arab madrasah. Meunasah merupakan suatu bangunan yang terdapat di setiap kampung atau desa. Bangunan ini seperti rumah, tetapi tidak mempunyai jendela dan bagian-bagian lain. Bangunan ini digunakan sebagai tempat belajar dan berdiskusi serta membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan kemasyarakatan.Meunasah secara fisik adalah, bangunan rumah panggung yang di buat pada setiap kampung. Dan di antara fungsi meunasah adalah:

  1. Sebagai tempat upacara keagamaan, penerimaan zakat dan tempat penyalurannya, tempat musyawarah dan sebagainya, 
  2. Sebagai lembaga pendidikan Islam dimana diajarkan pelajaran membaca Al-quran. Pengajian bagi orang dewasa diadakan pada malam hari tertentu dengan metode ceramah satu bulan sekali.

Dalam perkembangan lebih lanjut, meunasah bukan hanya berfungsi sebagai tempat beribadah saja, melainkan juga sebagai tempat pendidikan, tempat pertemuan, bahkan juga sebagai tempat jual beli barang-barang yang tak bergerak. Lama pendidikan di meunasah tidak ada batasan tertentu. Umumnya pendidikan berlangsung selama dua sampai sepuluh tahun. pengajaran biasanya berlangsung malam hari, biasanya pelajaran diawali dengan mengajarkan huruf hijaiyah dengan metode mengenal huruf kemudian merangkai huruf. Setelah itu dilanjutkan dengan membaca juz amma, sambil menghafalkan surat-surat pendek. Kemudian baru ditingkatkan dengan membaca Al-quran besar di lengkapi dengan tajwidnya.

3. Madrasah

Kalau dicermati istilah madrasah dari aspek derivasi kata, maka madrasah merupakan isim makan dari kata darasa yang berarti belajar. Jadi, madrasah berarti tempat belajar bagi siswa atau mahasiswa (umat Islam). Dalam sejarah pendidikan Islam, makna dari madrasah tersebut memegang peran penting sebagai institusi belajar umat Islam selama pertumbuhan dan perkembangannya.

Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang berciri khas Islam banyak menarik perhatian berkenaan dengan cita-cita pendidikan nasional. hal itu disebabkan karena jumlah peserta didiknya yang signitifikan, akan tetapi juga karena karakteristiknya yang sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman.

4. Pesantren

Kehadiran pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat, karena pesantren sebagai lembaga pendidikan selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat di sekitarnya sehingga keberadaannya di tengah masyarakat tidaklah terasa asing. Dalam waktu yang sama segala aktifitasnya pun mendapat dukungan dan apresiasi penuh dari masyarakat sekitarnya. Dari persfektif kependidikan, pesantren merupakan satu-satunya lembaga kependidikan yang tahan terhadap berbagai gelombang modernisasi. Sejak dilancarkan perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai dunia Islam, tidak banyak lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam seperti pesantren yang mampu bertahan.


BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan

  1. Kebijakan Pendidikan Islam Di Masa Kolonialisme Belanda mempunyai dua ciri khas, yaitu dikotomis dan diskriminatif. dikotomis yaitu suatu keadaan/sikap saling bertentangan. Kedua, adalah diskriminatif di mana setiap guru agama Islam harus meminta izin terlebih dahulu sebelum melaksanakan tugas. 
  2. Kebijakan pendidikan Islam di masa Pendudukan Jepang antara lain: a) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari, b) Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang, c) Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin, d) Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta, e) Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan, f) Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. 
  3. Lembaga Pendidikan Islam Sebelum Kemerdekaan yaitu:
  • Surau 
  • Meunasah 
  • Madrasah 
  • Pesantren

B. Saran

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi isi maupun penulisan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan dan rekan dan pembaca sekalian. Atas saran dan kritikannya penulis ucapkan terimakasih.


DAFTAR PUSTAKA


Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses, Produk, dan Masa Depannya, Ed.I, Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 2002.

Abudin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa, 2003.

Asrohah Hanun, Sejarah Pendidikan Islam Cet : 1; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1992.

Delian Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1991.

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hida Agung,1985.

Khaeruddin, Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia, CV. Berkah Utami, 2004.

Redja Mudyaharjo, Pengantar Pendidikan, Jakarta : PT Grafindo Persada, 2001.

Riant Nugroho, Public Policy, Jakarta: PT Elexmedia, 2008.

Suwendi, Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta : PT Grafindo Persada, 2004.

Zuhairini,  et.al., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2000.

http://lena- unindrabioza. blogspot.com/2008/03/ pendidikan-zaman- penjajahan. html

http://anshori.blogspot.com/2009/04/pendidikan-islam-zaman-penjajahan.html

http://anshori-pecintagadis.blogspot.com/2009/04/pendidikan-islam-zaman-penjajahan.html

http://lena-unindrabioza.blogspot.com/2008/03/pendidikan-zaman-enjajahan.html

http://anshori.blogspot.com/2009/04/pendidikan-islam-zaman-penjajahan.html



[1] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hida Agung,1985), hal. 23

[2] Ibid

[3] Cheppy Hari Cahyono dan Suparlan Alhakim, Ensiklopedi Politika, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. 170

 [4] Ibid, hlm. 14.

[5]Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses, Produk, dan Masa Depannya, Ed.I, Cet. II; (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), h. 13.

[6] Ali Imron, Op. Cit., hlm. 18.

[7] Riant Nugroho, Public Policy, (Jakarta: PT Elexmedia, 2008), hal. 36

[8] Zuhairini,  et.al., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000, set 6) hal 150

[9] Ibid, hal 148-150

[10] Asrohah Hanun, Sejarah Pendidikan Islam Cet : 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1992),  Hal, 160

[11] Delian Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1991),  hal. 95

[12] Asrohah Hanun, Op.Cit. hal 167

[13] Suwendi, Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta : PT Grafindo Persada, 2004), hal. 85

[14] Redja Mudyaharjo, Pengantar Pendidikan (Jakarta : PT Grafindo Persada, 2001 ), hal. 267

[15] Suwendi, op. cit), hal. 87

[16] http://lena- unindrabioza. blogspot.com/2008/03/ pendidikan-zaman- penjajahan. html

[17] http://anshori .blogspot.com/2009/04/pendidikan-islam-zaman-penjajahan.html


SEMOGA BERMANFAAT....

Rikaariyani.com


Post a Comment for "Kebijakan Pendidikan Islam Era Pra Kemerdekaan (1900-1945) "