Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Peranan Dan Kedudukan Manusia Menurut Al-Qur’an Dan Hadist

Peranan Dan Kedudukan Manusia Menurut Al-Qur’an Dan Hadist- Al-Qur’anul karim sebagai kitab suci kaum muslimin antara lain berfungsi sebagai “hudan” sarat dengan berbagai petunjuk agar manusia dapat menjadi khalifah yang baik di muka bumi ini.

Untuk memperoleh petunjuk tersebut diperlukan adanya pengkajian terhadap al-Qur’an itu sendiri, sehingga kaum muslimin benar-benar bisa mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari pada isi kandungan al-Qur’an tersebut yang di dalamnya kompleks membahas permasalahan-permasalahan yang sudah terjadi, sedang terjadi, maupun yang belum terjadi. 

Semua hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia, maupun keberadaan alam ini sudah termaktub dalam al-Qur’an. Termasuk permasalahan mulai dari asal kejadian manusia, sampai pada aktivitas yang dilakukan manusia dalam hal ini tentang Manajemen Pendidikan, hal tersebut sudah tertulis di dalam al-Qur’an.

 



Menurut kodrat serta irodatnya, manusia dilahirkan untuk menjadi pemimpin. Sejak Adam diciptakan sebagai manusia pertama dan diturunkan ke Bumi, beliau diberi tugas sebagai Khalifah fil ardhi.  

Sebagaimana termaktub dalam Al Quran Surat Al Baqarah ayat 30 yang artinya:

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Allah menciptakan alam semesta ini tidak sia-sia. Penciptaan manusia mempunyai tujuan yang jelas, yakni dijadikan sebagai khalifah atau penguasa (pengatur) bumi. Maksudnya, manusia diciptakan oleh Allah agar memakmurkan kehidupan di bumi sesuai dengan petunjukNya. Petunjuk yang dimaksud adalah agama (Islam).

Allah SWT juga menciptakan manusia di muka bumi agar manusia dapat menjadi kalifah di muka bumi tersebut. Yang dimaksud dengan khalifah ialah bahwa manusia diciptakan untuk menjadi penguasa yang mengatur apa-apa yang ada di bumi, seperti tumbuhannya, hewannya, hutannya, airnya, sungainya, gunungnya, lautnya, perikanannya dan seyogyanya manusia harus mampu memanfaatkan segala apa yang ada di bumi untuk kemaslahatannya. 

Jika manusia telah mampu menjalankan itu semuanya maka sunatullah yang menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi benar-benar dijalankan dengan baik oleh manusia tersebut, terutama manusia yang beriman kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Menurut Bachtiar Surin yang dikutif oleh Maman Ukas bahwa “Perkataan Khalifah berarti penghubung atau pemimpin yang diserahi untuk menyampaikan atau memimpin sesuatu”.

Ibnu khaldun mendefenisikan khalifah memiliki dua tuntutan kemaslahatan dunia dan akhirat. Dalam satu sisi pemimpin merupakan pengganti kepemimpinan yang mendapat mandat dari langit setelah rasul tiada. Sedangkan pada sisi yang lain, pemimpin (khalifah) mengatur manusia di bumi.

Ketika memerankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, ada dua peranan penting yang diamanahkan dan dilaksanakan manusia sampai hari kiamat. Pertama, memakmurkan bumi (al ‘imarah). Kedua, memelihara bumi dari upaya-upaya perusakan yang datang dari pihak manapun (ar ri’ayah).

Manusia mempunyai kewajiban kolektif yang dibebankan Allah SWT. Manusia harus mengeksplorasi kekayaan bumi bagi kemanfaatan seluas-luasnya umat manusia. Maka sepatutnyalah hasil eksplorasi itu dapat dinikmati secara adil dan merata, dengan tetap menjaga kekayaan agar tidak punah. Sehingga generasi selanjutnya dapat melanjutkan eksplorasi itu.

Melihara bumi dalam arti luas termasuk juga memelihara akidah dan akhlak manusianya sebagai SDM (sumber daya manusia). Memelihara dari kebiasaan jahiliyah, yaitu merusak dan menghancurkan alam demi kepentingan sesaat. Karena sumber daya manusia yang rusak akan sangata potensial merusak alam. Oleh karena itu, hal semacam itu perlu dihindari.

Mengapa Allah memerintahkan umat nabi Muhammad SAW untuk memelihara bumi dari kerusakan? Karena sesungguhnya manusia lebih banyak yang membangkang dibanding yang benar-benar berbuat shaleh sehingga manusia akan cenderung untuk berbuat kerusakan, hal ini sudah terjadi pada masa nabi – nabi sebelum nabi Muhammad SAW dimana umat para nabi tersebut lebih senang berbuat kerusakan dari pada berbuat kebaikan, misalnya saja kaum bani Israil, seperti yang Allah sebutkan dalam firmannya dalam surat Al Isra ayat 4 yang artinya: Dan Telah kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: "Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi Ini dua kali[848] dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar".

Sebagai seorang muslim dan hamba Allah yang taat tentu kita akan menjalankan fungsi sebagai khalifah dimuka bumi dengan tidak melakukan pengrusakan terhadap Alam yang diciptakan oleh Allah SWT karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Seperti firmannya dalam surat Al Qashash ayat 77 yang artinya: 

dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS AL Qashash : 77)

Sebagai khalifah di muka bumi, Manusia diciptakan oleh Allah dengan berbagai kelebihan dan kesempurnaan yang menyertainya. Manusia diberi akal pikiran dan juga hawa nafsu sebagai pelengkapnya. Manusia telah diberikan berbagai fasilitas di muka bumi sebagai alat pemenuhan kebutuhan manusia. Semua yang kita perlukan telah terhampar di alam semesta, manusia hanya perlu mengelolanya saja.

Dari uraian tersebut jelaslah bahwa manusia telah dikaruniai sifat dan sekaligus tugas sebagai seorang pemimpin. Pada masa sekarang ini setiap individu sadar akan pentingnya ilmu sebagai petunjuk/alat/panduan untuk memimpin umat manusia yang semakin besar jumlahnya serta komplek persoalannya. Atas dasar kesadaran itulah dan relevan dengan upaya proses pembelajaran yang mewajibkan kepada setiap umat manusia untuk mencari ilmu. 

Dengan demikian upaya tersebut tidak lepas dengan pendidikan, dan tujuan pendidikan tidak akan tercapai secara optimal tanpa adanya manajemen atau pengelolaan pendidikan yang baik, yang selanjutnya dalam kegiatan manajemen pendidikan diperlukan adanya pemimpin yang memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin.

Sebagai seorang khalifah atau pemimpin, ada beberapa prinsip yang harus diketahui:

1. Amanah (Jujur)

Sebagai Allah melukiskan dalam surat al-Ahzab ayat 72 yang artinya:

Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat[1233] kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.

Ayat tersebut menggambarkan secara majaz atau dengan ungkapan, betapa berat amanah itu sehingga gunung-gunung, bumi, dan langit pun tidak bersedia memikulnya. Manusia dalam mengemban amanah di organisasi pada riilnya mampu untuk mencapai tujuan berlandaskan pada aturan main yang ada.

Dari sikap amanah inilah lahir seluruh prilaku dan sikap yang sesuai dengan perintah Allah yang dilaksanakan para pemimpin pendidikan yang salah satu contohnya adalah prilaku pemimpin pendidikan yang bersikap adil. Artinya, antara prilaku amanah dan adil merupakan dua hal yang saling terkait.

2. Adil

Al- adil merupakan salah satu dari asmaul Husna, menunjuk kepada Allah sebagai pelaku. Asas keadilan harus benar-benar dijaga agar tidak muncul stigma-stigma ketidakadilan seperti kelompok marginal dan lain-lain.

Allah berfirman dalam surat shad ayat 26 yang artinya:

Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.

Seorang pemimpin lembaga pendidikan harus benar-benar adil dalam memberikan proporsionalitas tanggung jawab dari segi kuantitas maupun kualitas yang disertai dengan keikhlasan dalam menjalankan tugasnya dan juga orientasi tingkah lakunya dilandasi dengan nilai etik-quranik.

3. Musyawarah (Syura)

Musyawarah merupakan salah satu prinsip dalam berorganisasi yang harus dibangun antara pemimpin dan yang dipimpin.

Pemimpin pendidikan perlu melakukan pelaksanaan fungsi manajemen dengan dasar musyawarah antar komponen lembaga pendidikan dengan melakukan 3 garapan manajemen pendidikan yaitu: 

  • Manajemen material, yaitu kegiatan yang menyangkut bidang-bidang materi/benda-benda, seperti ketatausahaan lembaga pendidikan, administrasi keuangan, gedung, dan alat-alat perlengkapan lembaga pendidikan lainnya, 
  • Manajemen personal, mencakup di dalamnya administrasi personal guru dan pegawai lembaga pendidikan, juga administrasi murid, 
  • Manajemen kurikulum, seperti tugas mengajar guru-guru, penyusunan silabus atau rencana pengajaran tahunan, persiapan harian, mingguan dan sebagainya.

4. Etika tauhid dan amr ma’ruf nahi munkar

Prinsip etika tauhid yang menjadi pegangan utama pemimpin pendidikan akan berimplikasi pada sikap melindungi komponen pendidikan dengan manhaj pemimpin bijaksana, yaitu amr ma’ruf nahi munkar.

Kepemimpinan yang ideal hanya ada pada kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang mendorong umat untuk terus melakukan perilaku ma’ruf dengan mencintai ilmu pengetahuan. Konsep kepemimpinan ini mampu diterjemahkan oleh para khalifah sesudah era Nabi Muhammad yang salah satu contohnya adalah kemajuan peradaban islam dengan ilmu pengetahuan.

Bahkan ketokohan dari kepemimpinan Nabi Muhammad mampu membawa perkembangan Islam pada era yang gemilang. 

Ketokohan Nabi Muhammad ini merupakan sisi yang harus diakui karena tiga hal sebagai berikut: 

Pertama, masyarakat arab pada abad ke-7 mendengar dan mengikuti seruan nabi Muhammad. 

Kedua, dalam perbandingan dengan politeisme yang sangat duniawi dari agama-agama kesukuan arab lama, agama rakyat telah dinaikkan ke tingkat yang sepenuhnya baru, tingkat suatu agama tinggi yang monothoistik. 

Ketiga, orang-orang Islam menerima inspirasi, keberanian, dan kekuatan Nabi Muhammad yang tak habis-habisnya untuk permulaan agama baru: sebuah permulaan  menuju kebenaran lebih besar dan pemahaman lebih dalam, menuju sebuah terobosan kebangkitan kembali serta pembaruan kehidupan.


Post a Comment for "Peranan Dan Kedudukan Manusia Menurut Al-Qur’an Dan Hadist"