Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pendidikan Islam Sebagai Sosialisasi Kebudayaan

PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI SOSIALISASI KEBUDAYAAN


PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI SOSIALISASI KEBUDAYAAN

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk termulia dari segenap makhluk dan wujud lain yang ada di alam semesta ini. Dengan kata lain, manusia adalah puncak ciptaan Allah. Manusia ialah makhluk (ciptaan) Allah, bukan tercipta atau ada dengan sendirinya. Ini masalah keyakinan, dan al-Qur’an berulang-ulang meyakinkannya kepada manusia sampai pada tingkat menantangnya agar mencari bukti-bukti, baik pada alam raya maupun pada dirinya sendiri.

Dilihat dari strukturnya, manusia tersusun dari dua unsur yakni, pertama, memiliki beberapa kesamaan dengan makhluk lain. Kedua, memiliki kekhasan yang menunjukkan ketinggian martabat manusia disbanding dengan makhluk yang lain. Unsur pertama dari susunan kodrat itu dinamakan raga atau tubuh, sedang unsur kedua dinamakan jiwa atau roh. Kedua unsur itu, manusia dianugerahi nilai lebih, hingga kualitasnya berada di atas kemampuan yang dimiliki makhluk-makhluk lain. Dengan bekal yang istimewa ini manusia mampu menopang keselamatan, keamanan, kesejahteraan, dan kualitas hidupnya (Jalaludin, 2001: 13).

Sebaliknya dapat mencapai kehinaan bila kualitas insannya tidak dikembangkan secara positif. Sebab pada pribadi manusia bersanding kecenderungan pada kebajikan dan kefasikan. Walaupun pada manusia bersanding kefasikan dan ketaqwaannya sekaligus, namun pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat dari potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat dari daya tarik kebajikan.

Oleh karena itu manusia dapat berubah secara dinamis dari buruk menjadi baik dan sebaliknya dari baik menjadi buruk. Artinya bahwa kepribadian manusia tidak pernah stabil secara sempurna, ia selalu dalam dinamika kehidupannya, ia selalu berhadapan dengan lingkungan yang ikut mewarnai dinamika dan persoalan kemanusiaan. Karenanya di sini manusia memerlukan pendidikan, termasuk pendidikan Islam.

Perbincangan tentang pendidikan tidak akan pernah mengalami titik final. Karena pendidikan merupakan permasalahan besar kemanusiaan yang senantiasa aktual dibicarakan pada setiap ruang dan waktu yang tidak sama dan bahkan berbeda sama sekali. Karenanya, pendidikan harus senantiasa dengan perubahan yang terjadi. Hal ini sesuai dengan salah satu prinsip dalam Pendidikan Islam, yakni prinsip perubahan yang diinginkan.

Diantara perubahan yang dapat dirasakan adalah dalam kebudayaan. Kebudayaan yang dapat diartikan adalah pola kelakuan yang secara umum terdapat dalam suatu masyarakat. Dalam era globalisasi ini, terjadi pertukaran kebudayaan dari satu negara ke negara lain. Akibat pertukaran kebudayaan mengakibatkan dampak positif dan negatif. Oleh karena itu, di dalam makalah ini penulis akan membahas “Pendidikan Islam sebagai sosialisasi Kebudayaan.”

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana Konsepsi Pendidikan Islam? 
  2. Bagaimana kajian tentang sosialisasi? 
  3. Apa pengertian kebudayaan? 
  4. Bagaimana Pendekatan Budaya dalam Pendidikan Agama Islam? 
  5. Bagaimana Pendidikan Islam sebagai sosialisasi Kebudayaan?


C. Tujuan Penulisan

  1. Untuk mengetahui bagaimana Konsepsi Pendidikan Islam
  2. Untuk mengetahui Bagaimana kajian tentang sosialisasi 
  3. Untuk mengetahui Apa pengertian kebudayaan 
  4. Untuk mengetahui Bagaimana Pendekatan Budaya dalam Pendidikan Agama Islam 
  5. Untuk mengetahui Bagaimana Pendidikan Islam sebagai sosialisasi Kebudayaan

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.  Konsepsi Pendidikan Islam

Pendidikan secara etimologi disepadankan dengan istilah pedagogi, dari bahasa Yunani yang berasal dari asal kata paid artinya anak dan agogos artinya membimbing; sehingga pedagogi dapat diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar anak. Dalam bahasa Inggris, pendidikan disepadankan dengan kata education yang artinya lebih menekankan unsur pengajaran (instruction).

Dalam konteks tersebut, perspektif Barat umumnya mendefinisikan pendidikan sebagai “the process of training and developing the knowledge, skill, mind, character ect., especially by formal schooling. Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat (1): “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”

Baca juga: Peran kepala sekolah

Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term al-tarbiyah, al-ta’lim dan al-ta’dib. Dari ketiga istilah tersebut term yang populer digunakan dalam praktek pendidikan Islam adalah term al-tarbiyah. Sedangkan term al-ta’dib dan al-ta’lim jarang digunakan. Berikut penulis akan menjelaskan mengenai tiga kosa kata tersebut:


1.  Al-Tarbiyah

Kata al-Tarbiyah dalam bahasa Arab, Rabba, yarbu, tarbiyah: memiliki makna “tumbuh” “berkembang”, tumbuh (nasya’a) dan menjadi besar atau dewasa (tara’ra’a). Artinya, pendidikan (tarbiyah) merupakan usaha untuk menumbuhkan dan mendewasakan peserta didik, baik secara fisik, psikis, sosial, maupun spiritual. Qurtubi seperti yang dikutip oleh sahrodi mengatakan bahwa "Rabb" merupakan suatu gambaran yang diberikan kepada suatu perbandingan antara Allah sebagai pendidik dan manusia sebagai peserta didik. Allah mengetahui dengan baik kebutuhan-kebutuhan mereka yang dididik, sebab ia adalah pencipta mereka. Disamping itu pemeliharaan Allah tidak terbatas pada kelompok tertentu. Ia memperhatikan segala ciptaan-Nya. Karena itulah Ia disebut Rabb al-'Alamin (Jamali Sahrodi, 2005: 42).

Tarbiyah dapat juga diartikan dengan proses transformasi ilmu pengetahuan dari pendidik (rabbani) kepada peserta didik agar ia memiliki sikap dan semangat yang tinggi dalam memahami dan menyadari kehidupannya, sehingga terbentuk ketakwaan, budi pekerti, dan kepribadian yang luhur (Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2006: 13).

2.  Al-Ta’lim

Al-Ta'lim merupakan kata benda buatan (mashdar) yang berasal dari akar kata 'allama. Istilah tarbiyah diterjemahkan dengan pendidikan, sedangkan ta'lim diterjemahkan dengan pengajaran. Dalam Alquran dinyatakan, bahwa Allah mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. Kata ta’lim/’allama dalam Alquran ditujukan sebagai proses pengajaran, pemberian informasi dan pengetahuan kepada peserta didik.

3.  Al-Ta’dib

Istilah ta’dib berasal dari akar kata addaba, yuaddibu, ta’diiban yang mempunyai arti antara lain: membuatkan makanan, melatih akhlak yang baik, sopan santun, dan tata cara pelaksanaan sesuatu yang baik. Kata addaba yang merupakan asal kata dari ta’dib disebut juga muallim, yang merupakan sebutan orang yang mendidik dan mengajar anak yang sedang tumbuh dan berkembang.Ta'dib lazimnya diterjemahkan dengan pendidikan sopan santun. Ta'dib yang seakar dengan adab memiliki arti pendidikan, peradaban atau kebudayaan. Artinya orang yang berpendidikan adalah orang yang berperadaban, sebaliknya, peradaban yang berkualitas dapat diraih melalui pendidikan.

Bertolak dari berbagai pandangan etimologis tentang pendidikan –seperti di atas, para ahli memberikan batasan tentang pendidikan Islam secara beragam. Muhammad al Syaibany mendefinisikan pendidikan Islam sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan, perubahan itu dilandasi dengan nilai nilai islami.                 

Qardawi memberikan pengertian tentang pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmanisnya, akhlak dan ketrampilannya. Achmadi (2005: 94-105) memberikan definisi pendidikan Islam sebagai segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam.

Syaifuddin Anshari mendefinisikan pendidikan Islam sebagai proses bimbingan (pimpinan, tuntutan, usulan) oleh subjek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan dan intuisi) dan raga objek didik dengan bahan materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, metode tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai ajaran Islam. Secara lebih rinci, definisi-definisi tentang pendidikan Islam di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

  • Aktifitas yang berhubungan dengan merubah tingkah laku; 
  • Melibatkan potensi akal, hati (rohani) dan jasmani; 
  • Melalui proses kependidikan yang direncanakan baik tujuan, metode dan evaluasinya; 
  • Dijiwai dengan nilai-nilai Islam; dan 
  • Berorientasi pada keseimbangan kehidupan di dunia dan akherat.

Pendidikan Agama Islam diarahkan pada pencapaian tujuan yang telah dirumuskan berdasarkan sumber al Quran dan sunnah serta berlandaskan hakekat keberadaan manusia sendiri sebagaimana konsepsinya dalam Islam. Tujuan pendidikan Islam secara universal ditetapkan oleh konggres sedunia tentang pendidikan Islam seperti dikutip Abuddin Nata sebagai berikut:

“Education should aim at the balanced growth of total personality of man through the training of man‟s spirit, intellect the rational self, feeling and bodily sense. Education should therefore cater for the growth of man in all its aspects, spiritual, intellectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both individual and collectively, and motivate all these aspects toward goodness and attainment of perfection. The ultimate aim of education lies in the realization of complete submission to Allah on the level individual, the community and humanity at large”.

Tujuan pendidikan Islam yang bersifat universal di atas sesungguhnya dirumuskan berdasarkan dari berbagai pendapat para pakar pendidikan, seperti Al Attas yang merumuskan tujuan pendidikan Islam menjadi manusia yang baik, Athiyah al Abrary yang menghendaki manusia yang berakhlak mulia.

Secara lebih spesifik Achmadi (2005) membagi tujuan pendidikan Islam dalam beberapa tingkatan (tahapan). Pertama: tujuan tertinggi, yakni tujuan yang bersifat mutlak, tidak mengalami perubahan karena sesuai dengan konsep Ilahi yang mengandung kebenaran mutlak dan universal. Tujuan tersebut meliputi:

  • Menjadi hamba Allah yang bertaqwa;
  • Mengantarkan subjek didik menjadi khalifatullah fil ardhi;
  • Memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Kedua: tujuan umum yakni tujuan yang lebih bersifat empirik dan realistik dan berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur karena menyangkut perubahan sikap, perilaku dan kepribadian subjek didik sehingga mampu menghadirkan dirinya sebagai sebuah pribadi yang utuh atau disebut sebagai realisasi diri (self realization). Wujud aktual dari realisasi diri ini adalah manusia dewasa, artinya manusia yang mampu merealisasikan dirinya secara bertanggung jawab atas segala perbuatannya yang dapat diukur pencapaiannya pada tiga realitas, yakni realitas subyektif, realitas simbolik dan realitas objektif.

Ketiga: tujuan khusus, yaitu pengkhususan atau operasionalisasi tujuan tertinggi dan terakhir dan tujuan umum pendidikan Islam. Tujuan ini bersifat relative dan dimungkinkan disesuaikan dengan kultur dan cita-cita suatu bangsa; minat, bakat dan kesanggupan subjek didik; situasi dan kondisi pada kurun waktu tertentu. Termasuk dalam kategori tujuan ini adalah tujuan pendidikan agama Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional.

Ibnu Khuldun yang dikuti oleh Ramayulis (2008:71) menyatakan tujuan pendidikan Islam ada dua:

  1. Tujuan keagamaan, maksudnya ialah beramal untuk akhirat sehingga ia menemui Tuhannya dan telah menunaikan hak Allah yang diwajibkan atasnya.
  2. Tujuan ilmiah yang bersifat keduniaan, yaitu apa yang diungkapkan oleh pendidikan modern dengan tujuan kemanfaatan atau persiapan untuk hidup.

Al-Abrasi, merumuskan tujuan umum pendidikan Islam ke dalam lima pokok:

  1. Pembentukan akhlak mulia. 
  2. Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat. 
  3. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi pemanfaatannya. Keterpaduan antara agama dan ilmu akan dapat membawa manusia kepada kesempurnaan. 
  4. Menumbuhkan roh ilmiah para pelajar dan memenuhi keinginan untuk mengetahui serta memiliki kesanggupann untuk mengkaji ilmu sekadar sebagai ilmu. 
  5. Mempersiapkan para pelajar untuk suatu profesi tertentu sehingga ia mudah mencari rezeki.

Dari beberapa uraian di atas dapat diketahui bahwa tujuan dari pendidikan Islam itu bukanlah hanya sekadar untuk mencari kesenangan duniawi (materi) semata, melainkan menyangkut juga masalah ukhrawi secara berimbang.

Dasar ideal pendidikan Islam adalah identik dengan ajaran Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu al-Qur’an dan hadis. Kemudian dasar tadi dikembangkan dalam pemahaman para ulama dalam bentuk:

1.  al-Qur’an

Kedudukan al-Qur’an sebagai sumber pokok pendidikan Islam dapat dipahami dari ayat al-Qur’an itu sendiri.

2.  Sunnah (Hadis)

Dasar kedua selain al-Qur’an adalah sunnah Rasulullah Saw. Amalan yang dikerjakan oleh Rasulullah Saw dalam proses perubahan hidup sehari-hari menjadi sumber utama pendidikan Islam karena Allah Swt menjadikan Muhammad sebagai teladan bagi umatnya.

3.  Perkataan, perbuatan dan sikap para sahabat

Selain al-Qur’an dan sunnah juga perkataan, sikap dan perbuatan para sahabat. Perkataan mereka dapat dipegangi karena Allah sendiri di dalam al-Qur’an yang memberikan pernyataan, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah yang artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”

4.  Ijtihad

Usaha ijtihad para ahli dalam merumuskan teori pendidikan Islam dipandang sebagai hal yang sangat penting bagi pengembangan teori pendidikan pada masa yang akan datang sehingga pendidikan Islam tidak melegitimasi status quo serta tidak terjebak dengan ide justifikasi terhadap khazanah pemikiran para orientalis dan sekuleris.

Dasar operasional merupakan dasar yang terbentuk sebagai aktualisasi dari dasar ideal. Dasar operasional dapat dibagi enam macam:

1.  Dasar Historis

Dasar yang memberi persiapan kepada pendidikan dengan hasil-hasil pengalaman masa lalu, berupa undang-undang dan peraturan-peraturannya maupun tradisi ketetapannya.

2.  Dasar Sosiologis

Dasar berupa kerangka budaya pendidikan itu bertolak dan bergerak, seperti memindahkan budaya memilih dan mengembangkannya.

3.  Dasar Ekonomi

Dasar yang memberi perspektif tentang potensi-potensi manusia, keuangan, materi persiapan yang mengatur sumber keuangan dan bertanggung jawab terhadap anggaran pembelajaran.

4.  Dasar Politik dan Administrasi

Dasar yang memberi bingkai ideologi (akidah) dasar yang digunakan sebagai tempat bertolak untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan dan rencana yang telah dibuat.

5.  Dasar Psikologis

Dasar yang memberi informasi tentang watak peserta didik, pendidik, metode dan penyuluhan.

6.  Dasar Filosofis

Dasar yang memberi kemampuan memilih yang terbaik, memberi arah suatu sistem yang mengontrol dan memberi arah kepada semua dasar-dasar operasional lainnya.

Dari uraian di atas dapatlah diketahui bahwa yang mendasari pendidikan Islam ada dua jenis, yaitu dasar ideal dan dasar operasional. Dengan adanya dua dasar tersebut diharapkan akan terwujud tujuan pendidikan Islam membentuk insan kamil yang senantiasa berjalan di atas tuntunan ajaran agama Islam. Lebih dari itu, menurut Muhaimin yang mengutip pendapatnya Webster menjelaskan bahwa, nilai adalah prinsip, standar atau kualitas yang dipandang bermanfaat dan sangat diperlukan. Nilai adalah suatu keyakinan atau kepercayaan yang menjadi dasar bagi seseorang atau sekelompok orang untuk memilih tindakannya atau menilai suatu yang bermakna bagi kehidupannya.


B. Kajian Tentang Sosialisasi

Sosialisasi adalah proses seorang individu belajar berintegrasi dengan sesamanya dalam suatu masyarakat menurut sistem nilai, norma, dan adat istiadat yang mengatur masyarakat yang bersangkutan Sedangkan menurut Suharto, sosialisasi atau proses memasyarakat adalah proses orang orang yang menyesuaikan diri terhadap norma norma sosial yang berlaku, dengan tujuan supaya orang yang bersangkutan dapat diterima menjadi anggota suatu masyarakat.

Sosialisasi adalah proses belajar yang di alami seseorang untuk memperoleh pengetahuan ketrampilan, nilai-nilai dan norma-norma agar ia dapat berpartisipasi sebagai anggota dalam kelompok masyarakatnya. Lewat proses-proses sosialisasi, individu-individu masyarakat belajar mengetahui dan memahami tingkah pekerti-tingkah pekerti apakah yang harus dilakukan dan tingkah pekerti-tingkah pekerti apa pulakah yang harus tidak dilakukan (terhadap dan sewaktu berhadapan dengan orang lain) di dalam masyarakat.

Menurut William J. Goode (2007: 20), “sosialisasi merupakan proses yang harus dilalui manusia muda untuk memperoleh nilai-nilai dan pengetahuan mengenai kelompoknya dan belajar mengenai peran sosialnya yang cocok dengan kedudukannya di situ”.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa sosialisasi adalah suatu proses belajar serta mengenal norma dan nilai nilai sehingga terjadi pembentukan sikap untuk berprilaku sesuai dengan tuntunan atau perilaku masyarakatnya.


C. Pengertian Kebudayaan

Secara bahasa, kebudayaan berasal dari bahasa sansakerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari ”buddhi” yang berarti budi atau akal. Dalam bahasa Arab, kebudayaan disebut tsaqafah, dan peradaban disebut dengan hadharah. Dalam Mu’jam al-Wasith, kebudayaan (tsaqafah) diartikan sebagai ilmu pengetahuan dan berbagai bidang kehidupan manusia yang membutuhkan kecakapan. Secara bahasa, tsaqafah itu sendiri berarti kepintaran, kecakapan, kecerdasan, atau pelurusan.

Yusuf Qardhawi menjelaskan ada kalangan yang memahami tsaqafah sebatas bidang pengetahuan seperti ilmu, pemikiran, etika, dan seni, ada juga yang memahami bahwa budaya berkaitan dengan aspek individu, sedangkan peradaban berkaitan dengan aspek social, dan ada juga yang menjelaskan bahwa budaya berkaitan dengan non materi, sedangkan peradaban berkaitan dengan materi. Dalam konteks ini, Qardhawi tidak membedakan antara budaya dengan peradaban dan kalau masih harus dibedakan juga, maka dengan melihat keluasan cakupan konsepsi budaya yang diberikannya, dapat dikatakan bahwa peradaban merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri.

Dengan demikian, tsaqafah adalah berbagai pemikiran, pengetahuan, dan pencapaian yang dicampur dengan nilai-nilai, keyakinan, dan perasaan yang sering disebut dengan akhlak dan ibadah, adab dan prilaku, juga ilmu, seni, hal-hal yang bersifat materi, dan spiritual.

Dari penjelasan di atas, kebudayaan Islam dapat diartikan sebagai berbagai pemikiran, pengetahuan, dan pencapaian yang dicampur dengan nilai-nilai, keyakinan, dan perasaan yang sering disebut dengan akhlak dan ibadah, adab dan prilaku, juga ilmu, seni, hal-hal yang bersifat materi, dan spiritual yang didasarkan kepada nilai-nilai dan ajaran Islam yang bersifat universal.

Pemikiran, pengetahuan, dan pencapaian umat Islam, keyakinan, dan perasaan mereka,  adab dan prilaku mereka tidak selamanya sesuai dengan ajaran Islam. Dengan demikian, kebudayaan umat Islam adakalanya tidak dapat dikatakan sebagai kebudayaan Islam manakala kebudayaan mereka bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Ma’arif menjelaskan bahwa kebudayaan Islam merupakan sesuatu yang dinamis. Dalam hal budaya, Islam Cuma mengataur nilai-nilainya, sedangkan bentuknya dapat saja mencul dalam berbagai bentuk dan corak. Islam sebagai sebuah doktrin adalah satu. Namun sebagai ekspresi kultural, Islam itu beragam. Islam bisa saja tampil dalam rona muka yang bervariasi. Ada Islam Indonesia yang berbingkai Pancasila, Islam Pakistan, Islam Arab, Islam Malaysia dan lainnya. Bermacam-macam ekspresi kultural ini muncul sebagai akibat yang logis dari lingkungan sejarah dan feografis yang berbeda-beda.

Sejauh Islam kultural ini tidak melanggar prinsip tauhid dan prinsip-prinsip dasar Islam, maka keberagaman tersebut seyogyanya diterima sebagai bentuk penafsiran ke-Islaman yang berjalan secara alamiah. Yang perlu dijaga adalah agar wajah-wajah Islam yang beragam tersebut tidak merusak bangunan tauhid dan persaudaraan universal umat. Mereka yang menganggap Islam sebagai sistem kultur yang monolitik adalah keliru dan perlu diluruskan pemahamannya, karena mereka buta untuk melihat kekayaan Islam sebagai ajaran yang universal sebagaimana telah termanifestasikan dalam pelbagai periode sejarah.

Pemahaman keagamaan umat Islam dapat juga tampil dalam berbagai bentuk rona yang beragam. Munculnya mazhab-mazhab fikih, apresiasi pemahaman keagamaan Ormas Islam semisal Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Perti dan lain sebagainya merupakan contoh keberagamaan yang harus disikapi dan diterima dengan lapang dada sebagai bentuk dari rahmat Allah yang disyukuri. Tidak boleh perbedaan-perbedaan tersebut membawa kepada perpecahan umat.

Perbedaan paham keagamaan akan menjadi tidak dapat ditolerir apabila perbedaan tersebut berada pada tingkat ajaran-ajaran dasar atau prinsip-prinsip dasar Islam. Prinsip-prinsip tersebut adalah hal-hal dasar yang berhubungan dengan prinsip-prinsip keimanan dan ke-Islaman sebagaimana termaktup pada rukun iman dan rukun Islam. Pada wilayah ini tidak boleh ada perbedaan paham. Kalau seseorang telah mengaku beragama Islam, maka keyakinannya harus satu dan wajib sama dengan muslim lainnya; misalnya keyakinan bahwa tidak ada tuhan selain Allah Yang Esa Zat, Shifat dan Af’al-Nya serta meyakini Nabi Muhammad adalah Rasulullah.

Begitu juga halnya dengan aspek rukun Islam; dia harus ta’at dan patuh menjalankan perintah Allah untuk shalat lima kali sehari dan semalam, wajib puasa pada bulan Ramadhan, kewajiban bayar Zakat dan haji bagi yang mampu dan lain sebagainya. Hal-hal ini merupakan ajaran dasar dalam Islam sehingga tidak boleh ada perbedaan dalam pemahaman dan keyakinan karena sudah diatur tegas oleh Allah serta rasul-Nya dan ini tidak membutuhkan ijtihad. Perbedaan dapat ditolerir selama perbedaan tersebut berada pada aspek ijtihadiyah atau furu’iyah dalam kehidupan beragama dan itu dibolehkan selama perbedaan tersebut punya landasan syar’i dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar’i.

Menurut Syafi’i Ma’arif agama harus dipahami secara substantif agar pesannya dapat didaratkan secara bermakna. Sikap beragama yang artifisial tidak akan menolong keadaan bangsa yang kusut. Sebuah agama, yang sudah kehilangan fungsi transendentalnya pada diri pemeluknya, tidak akan berdaya memberi kekuatan  moral kepada peradaban. Ketika fungsi ini tersingkir, maka kegalauan dan kebiadaban peradaban tidak mungkin dibendung lagi.


D. Pendekatan Budaya Dalam Pendidikan Islam

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa pendidikan islam sesungguhnya adalah wahana untuk “perubahan‟ bagi terbentuknya pribadi-pribadi muslim sehingga nilai-nilai Islam terefleksikan dalam perilaku sehari-hari. Melalui internalisasi nilai-nilai keislaman, sesungguhnya pendidikan agama Islam berorientasi pada proses pembentukan moral masyarakat yang islami. Dalam konteks ini sesungguhnya pendidikan agama Islam mengarah pada pembentukan kebudayaan yang islami.

Pendidikan dalam perspektif pembudayaan dijelaskan oleh Young Pai (1990: 2): “… it can be viewed as the deliberate means by which each society attempts to transmit and perpetuate its notion of the good life, which is derived from the society‟s fundamental beliefs concerning the nature of the world, knowledge and values”. (ini dapat dipandang sebagai cara sadar bahwa setiap masyarakat berusaha untuk mewariskan dan mengabadikan harapan hidup baik, yang diperoleh dari kepercayaan fundamental masyarakat mengenai sifat alami dunia, pengetahuan dan nilai).

Dari perspektif ini, sesungguhnya pendidikan Islam adalah proses pembudayaan karena di dalamnya berisikan komitmen tentang fasilitasi dan langkah-langkah yang seharusnya dilakukan untuk mengarahkan peserta didik pada nilai-nilai (values) dan kebajikan (virtues) yang akan membentuknya menjadi manusia-manusia yang baik (good people). Nilai-nilai tersebut kemudian menjadi referensi bagi kehidupan individu baik secara pribadi maupun masyarakat. Dengan kata lain sesungguhnya pendidikan agama Islam merupakan „strategi kebudayaan‟ unstuck membangun suatu tata kehidupan masyarakat berdasarkan nilai-nilai Islam.

Proses pendidikan agama Islam disebut sebagai proses pembudayaan karena melalui pendidikan tersebut, peserta didik menerima nilai-nilai Islam yang pada akhirnya membangun pola tindakan (pattern for behaviour) sebagai pijakan dalam berbudaya. Proses pendidikan sebagai gejala pembudayaan memang tidak mudah untuk dibangun pada setiap individu maupun kelompok karena dalam prosesnya banyak faktor yang mempengaruhi. Faktor tersebut terkait dengan realitas social yang bersifat subjektif yang dimiliki oleh individu-individu dan realitas objektif di luar individu yang mempunyai pengaruh kuat. Oleh karena itu dalam proses pendidikan agama Islam sebagai proses pembudayaan haruslah diperhatikan latar social-budaya dari peserta didik.

Pendekatan budaya dimaksudkan sebagai cara pandang yang mendasari guru atau pendidik untuk menyusun strategi, model, metode ataupun alat pembelajaran dengan mempertimbangkan kondisi sosio-kultural peserta didik. Melalui pendekatan ini, proses pendidikan agama akan mendapatkan konteksnya, karena berkaitan dengan realitas subjektif anak, yakni nilai-nilai yang sudah diyakini sebelumnya, sehingga memudahkan anak untuk menerima dan mengadaptasikannya. Demikian halnya, pendekatan ini juga akan menghantarkan pendidikan agama Islam menjadi „bermakna‟, karena berkaitan dengan relaitas objektif anak, berkaitan dengan pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat.

Dengan pendekatan budaya, pendidikan agama Islam tidak sekedar menyampaikan aspek kognitif yang bersisikan ajaran agama, tetapi proses pembudayaan yang dibangun berdasarkan nilai-nilai islam yang diinternasisasikan dengan mempertimbangkan realitas sosial-budaya siswa, baik realitas subjektif maupun objektif. Oleh karena itu, proses pembudayaan melalui pendidikan sesungguhnya membutuhkan pendekatan yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai Islam sebagai pijakan bagi pola tindakan (pattern for behaviour) anak didik sehingga mereka bisa tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang mempunyai kepribadian muslim.


E.  Pendidikan Islam Sebagai Sosialisasi Kebudayaan

Sebelum sampai pada pembahasan pendidikan agama sebagai sosialisasi  kebudayaan, perlu terlebih dahulu diuraikan kedudukan agama dalam sistem budaya. Dakam konteks kebudayaan, agama dipahami sebagai suatu sistem keyakinan dan tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasikan dan memberikan tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai gaib dan suci.

Agama sebagai sistem keyakinan dapat menjadi bagian dalam sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, menjadi pendorong sekaligus pengendali bagi tindakan-tindakan anggota masyarakat tersebut agar tetap sesuai dengan nilai-nilai agama dan kebudayaannya.

Sebagai sistem normatif, agama dapat berpengaruh kuat terhadap sistem kebudayaan. Menurut Clifford Geertz agama dalam kebudayaan dapat berfungsi sebagai:

  1. Sistem simbolik yang berfungsi dalam mengatur keputusan tindakan manusia; 
  2. Untuk memantapkan, meresapkan perasaan-perasaan, motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh dan bertahan lama dalam diri manusia; 
  3. Dengan cara memformulasikan konsepsi-konsepsi keteraturan kehidupan dan

Dalam konteks pendidikan nasional, fungsi dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana dijelaskan pada bab II pasal 3 UU Sisdiknas 2003 sebagai berikut:

”Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Jika dicermati ketentuan pasal di atas, tampak bahwa pendidikan nasional merupakan strategi dalam mewujudkan kebudayaan dan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat. Indikator watak dan peradaban bermartabat itu sendiri tentunya adalah ketika terbentuk gererasi yang betul-betul menghargai dan menghormati sistem nilai kebudayaan bangsanya. Pada bagian lain, tujuan pendidikan nasional yang berorietasi pada pengembangan potensi anak menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa mengindikasikan "nilai agama‟ mempunyai kedudukan penting, menjadi bagian dari watak dan peradaban bangsa Indonesia. Oleh karena itu salah satu strategi dalam mengembangkan kebudayaan dan peradaban bangsa Indonesia yang „religius‟, pemerintah menetapkan pendidikan agama sebagai sub sistem pendidikan nasional, yang dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.

Dalam konteks kebudayaan, pendidikan agama dapat dipahami sebagai proses pembudayaan untuk mentahbiskan seseorang mampu hidup dengan mempunyai pandangan hidup, sikap hidup dan ketrampilan hidup sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya dalam suatu budaya tertentu. Oleh karena itu pendidikan agama dapat dikatakan sebagai strategi kebudayaan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Pendidikan (agama) Islam tidak saja diarahkan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran agama Islam dari peserta didik, yang di samping unstuck membentuk kesalehan personal, sekaligus membentuk kesalehan sosial. Kesalehan personal tersebut diharapkan dapat berimplikasi pada kesalehan sosial, artinya mampu menjaga hubungan baik dengan masyarakat, baik yang seagama ataupun yang tidak seagama, serta dalam berbangsa dan bernegara sehingga dapat terwujud persatuan dan kesatuan nasional bahkan ukhuwah insaniyah.

Dalam konteks masyarakat Indonesia yang pluralistik, baik agama, ras, etnis, tradisi, budaya dan sebagainya, adalah sangat rentan terhadap timbulnya konflik yang bersifat horizontal. Konteks yang demikian, menuntut pendidikan agama Islam haruslah mampu “memutus‟ tumbuhnya fanatisme dan sikap intoleran di kalangan masyarakat “agama‟ yang dapat memperlemah kerukunan hidup.

Masyarakat yang plural, seperti Indonesia membutuhkan ikatan keadaban (the bound of civility). Artinya, pergaulan antara satu sama lain yang diikat dengan suatu "civility‟ (keadaban). Ikatan ini pada dasarnya dapat dibangun dari nilai-nilai universal ajaran agama. Berdasarkan pandangan di atas, kebijakan pendidikan agama Islam diarahkan untuk menguatkan the bound civility, untuk mewujudkan kerukunan, kedamaian dan tercipta kebersamaan hidup serta toleransi yang dinamis dalam membangun bangsa Indonesia.

Salah satu instrument penting yang menentukan pendidikan agama mampu atau tidaknya berfungsi menjadi agen the bound civility, adalah bagaimana guru agama mampu membelajarkan pendidikan agama yang difungsikan sebagai panduan dalam kehidupan masyarakat yang pluralis dan bagaimana guru agama mampu mengangkat dimensi-dimensi konseptual dan substansial dari ajaran agama seperti kejujuran, keadilan, kebersamaan, kesadaran akan hak dan kewajiban, ketulusan dalam beramal dan sebagainya untuk diaktualisasikan dan direalisasikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang pluralis.

BAB III
KESIMPULAN

Pendidikan islam sesungguhnya adalah wahana untuk “perubahan‟ bagi terbentuknya pribadi-pribadi muslim sehingga nilai-nilai Islam terefleksikan dalam perilaku sehari-hari. Melalui internalisasi nilai-nilai keislaman, sesungguhnya pendidikan agama Islam berorientasi pada proses pembentukan moral masyarakat yang islami. Dalam konteks ini sesungguhnya pendidikan agama Islam mengarah pada pembentukan kebudayaan yang islami. Dengan kata lain sesungguhnya pendidikan  Islam merupakan “sosialisasi kebudayaan‟ untuk membangun suatu tata kehidupan masyarakat berdasarkan nilai-nilai Islam.

Baca juga: Karakteristitik Kepemimpinan Transformasional

DAFTAR PUSTAKA

Jalaludin, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2006.

Musthofa Rahman, Pendidikan Islam dalam Perspektif Alquran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Millenium III, Jakarta: Kencana. 2012.

Achmadi, Idiologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentrisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2008.

Ihrom, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004.

William J. Goode, Sosiologi Keluarga, Jakarta: Bumi Aksara, 2007.

Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Jamali Sahrodi, Membedah Nalar Pendidikan Islam, Pengantar Ke Arah Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Rihlah Group, 2005.



1 comment for "Pendidikan Islam Sebagai Sosialisasi Kebudayaan"


  1. Numpang promo ya Admin^^
    ayo segera bergabung dengan kami di ionqq^^com
    dengan minimal deposit hanya 20.000 rupiah :)
    Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa & E-Money
    - Telkomsel
    - XL axiata
    - OVO
    - DANA
    segera DAFTAR di WWW.IONPK.CLUB :-*
    add Whatshapp : +85515373217 ^_~

    ReplyDelete