Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SANKSI TERHADAP TINDAK PIDANA ANAK DALAM PERSPEKTIF FIKIH DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia merupakan negara berdasarkan hukum modern. Penegasan ini terdapat dalam teks UUD RI 1945, penjelasannya secara eksplisit disebutkan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechstaat) dan bukan berdasarkan atas kekuasaan (machtstaat). Pada penjelasan berikutnya ditegaskan bahwa pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme atau kekuasaan yang tidak terbatas, dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa hukum dalam negara Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat mendasar dan tertinggi (supreme), sehingga kekuasaan siapapun yang memegangnya harus tunduk pada hukum. 2 Hal tersebut bertujuan untuk mewujudkan kondisi yang kondusif, adil makmur secara merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

Gagasan sebagai negara hukum didasarkan pada pancasila dan UUD RI 1945 yang dibangun di atas prinsip-prinsip persatuan, keadilan sosial, demokrasi, ketuhanan dan kemanusiaan bukan saja aspirasi dan cita-cita dari para penguasa saja (the founding fathers), melainkan: pertama, telah menjadi semangat negara RI dan merupakan deklarasi seluruh rakyat Indonesia untuk melindungi hak-hak asasi, yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, kultural dan pendidikan; kedua, peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh suatu kekuatan/ kekuasaan apapun; ketiga legalitas dalam arti hukum dalam semua bentuknya.

Apabila berbicara masalah hukum, maka akan dihadapkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan atau tingkah laku manusia sebagai anggota di masyarakat dan tujuan hukum adalah memberikan kesalamatan, ketentraman, dan tata tertib di masyarakat. Masing-masing individu masyarakat mempunyai kepentingan sehingga setiap anggota masyarakat dalam memenuhi kepentingan tersebut mengadakan hubungan-hubungan yang diatur oleh hukum untuk menciptakan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat.

Jika seseorang atau sekelompok melakukan pelanggaran hukum maka terjadi keguncangan keseimbangan, karena pelanggaran hukum tersebut dapat mendatangkan kerugian bagi pihak lain. Untuk menciptakan kembali keseimbangan dalam masyarakat, maka diadakan sanksi, yaitu sanksi administrasi dalam bidang hukum tata negara, sanksi perdata dalam bidang hukum perdata, dan sanksi pidana dalam bidang hukum pidana. Pada pelaksanaannya, apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata belum mencukupi untuk mencapai keseimbangan di dalam masyarakat, maka sanksi pidana merupakan sanski terakhir atau ultimum remedium.

Hukum pidana adalah hukum yang menentukan tentang perbuatan pidana, menentukan tentang kesalahan bagi sipelanggarnya dan hukum yang menentukan tentang pelaksanaan substansi hukum pidana. Di Indonesia hukum pidana dibagi dalam dua macam, yaitu dikumpulkan dalam kitab kodifikasi (Kitab Undang-undang Hukum Pidana/KUHP) yang merupakan hukum pidana umum dan hukum yang tersebar dalam berbagai undangundang dan membahas tentang hal-hal tertentu yang merupakan hukum pidana khusus. Pelanggaran terhadap hukum pidana dapat dikualifikasikan sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran baik berupa kejahatan atau kriminalitas.

Masalah kejahatan/ kriminalitas merupakan persoalan yang selalu aktual, hampir disemua negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Perhatian terhadap masalah ini telah banyak dicurahkan, baik dalam bentuk diskusi-diskusi maupun dalam seminar-seminar yang telah diadakan oleh organisasi-organisasi atau instansiinstansi pemerintah yang erat hubungan dengan masalah ini. Hal tersebut menarik perhatian sebab pelanggaran hukum di masyarakat tidak hanya dilakukan oleh anggota masyarakat yang sudah dewasa, tetapi juga dilakukan oleh anggota masyarakat yang masih anak-anak yang perbuatannya dapat merugikan diri sendiri dan masyarakat.

Penyimpangan perilaku atau pelanggaran hukum oleh anak biasanya disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain perkembangan zaman yang semakin maju dan terciptanya teknologi komunikasi yang semakin canggih, mendorong terwujudnya globalisasi yang merupakan proses perubahan sosial yang tak terhindarkan. Satu sisi hal tersebut sangat berguna bagi perkembangan bangsa, tetapi di sisi lain menimbulkan mudharat sehingga tentunya sangat dilematis, apalagi bangsa Indonesia masih menghadapi krisis ekonomi yang tidak kunjung selesai.  Laju pertumbuhan penduduk yang pesat yang tidak sebanding dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi mengakibatkan banyaknya pengangguran, sulitnya mencari lapangan pekerjaan dan meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat mengakibatkan penurunan kualitas hidup masyarakat, peningkatan jumlah anak putus sekolah, hal-hal tersebut mendorong munculnya berbagai tindak kriminalitas.

Selain itu, pada dasarnya kesejahteraan anak tidak sama, tergantung dari tingkat kesejahteraan orang tua mereka. Kita dapat melihat di negara kita masih banyak anak yang tinggal di daerah kumuh dan di antaranya harus berjuang mencari nafkah untuk membantu keluarga. Kemiskinan, pendidikan yang rendah, keluarga yang berantakan akan memudahkan anak terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungan pergaulan akan mempengaruhi kehidupan atau pertumbuhan seorang anak.

Hal tersebut merupakan dasar yang melatar belakangi seorang anak untuk melakukan tindak pidana atau kejahatan. Sehingga dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah laku anak nakal, perlu dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas.

Walaupun anak telah dapat menentukan sendiri langkah perbuatan berdasarkan pikiran, perasaan dan kehendaknya, tetapi keadaan disekitar dapat mempengaruhi perilakunya. Oleh karena itu, maka orang tua dan masyarakat sekitarnya seharusnya lebih bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan pengembangan perilaku anak tersebut.

Hal tersebut menjadi penting, mengingat anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan Nasional dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu memimpin serta melihat kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila dan UUD RI 1945.  Namun terkadang anak memiliki keterbatasan dalam memahami dan melindungi diri dari berbagai pengaruh sistem yang ada. Oleh karena ketika anak menjadi pelaku tindak pidana, Negara harus memberikan perlindungan padanya.

Tindak pidana oleh anak merupakan suatu masalah yang memerlukan perhatian khusus pemerintah, oleh karena berkaitan dengan moralitas para generasi bangsa. Pengadilan dalam hal ini merupakan instansi atau lembaga yang menangani masalah hukum perlu memberikan perhatian terhadap kasus yang berkaitan dengan anak-anak. Untuk itu pengadilan perlu memberikan sanksi yang paling tepat pada anak-anak yang melakukan tindak pidana.

Untuk lebih memantapkan upaya pembinaan dan pemberian bimbingan bagi anak nakal, maka pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan dengan menerbitkan peraturan perundangan yang merumuskan perlindungan terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum.

Salah satu implementasinya adalah dengan lahirnya Undang-undang RI No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang memberikan ketentuan-ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan yang khusus bagi anak dalam lingkungan peradilan umum, yang penanganannya melibatkan beberapa lembaga negara, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Departemen Hukum dan HAM, serta Departemen Sosial secara terpadu dengan mengedepankan kepentingan yang terbaik bagi anak-anak.

Ajaran Islam memiliki aturan terhadap kejahatan. Kejahatan dalam hukum Islam dinamakan jarimah/jinayah yang didefenisikan sebagai larangan-larangan hukum yang diberikan Allah yang apabila dikerjakan akan diancam dengan hukuman had dan takzir.

Beberapa pendapat tentang batasan seorang anak yang dapat dikenakan pertanggung jawaban pidana. Menurut beberapa fuqaha, mereka membatasi usia seorang anak yang dapat dikenakan pertanggung jawaban pidana atas jarimah yang diperbuatnya yaitu setelah si anak mencapai usia 15 tahun.  Sedang menurut Ahmad Hanafi yang mengutip Imam Abu Hanifah, membatasi pada usia 18 tahun dan menurut satu riwayat 19 tahun.

Namun begitu, seorang hakim harus memperhatikan kemampuan pertanggung jawaban pidana pelaku kejahatan dalam menjatuhkan hukuman. Jangan ada keraguan dalam menjatuhkan hukuman, karena hal itu dapat menjadi sebab gugurnya hukuman. Bagaimanapun juga suatu kejahatan harus mendapat imbalan atau hukuman yang sepantasnya, karena hukuman selain dijadikan suatu balasan atas kejahatan dapat juga sebagai perbaikan dan pencegahan terhadap semakin maraknya tindak kejahatan.

Islam memiliki aturan dan landasan yang berbeda tentang kejahatan anak dibanding aturan yang berlaku di Indonesia, baik dari segi pelaku, landasan hukum dan sanksi yang diberikan. Tetapi dari sisi keadilan dan tujuan pemberian tindakan/hukuman terdapat kesamaan.

Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin meneliti kembali eksistensi dari dua hukum yang berbeda ini dalam kasus kejahatan anak, dengan permasalahan pokok yaitu “Bagaimana sanksi terhadap tindak pidana anak dalam perspektif fikih dan hukum positif di Indonesia?”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dan pokok masalah yang telah disebutkan sebelumnya, maka untuk mengkaji masalah pokok tersebut, penulis merumuskannya dalam tiga sub masalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana konsep sanksi terhadap pidana anak perspektif fikih dan hukum positif di Indonesia?
  2. Bagaimana perbedaan konsep sanksi terhadap pidana anak perspektif fikih dan hukum positif di Indonesia?
  3. Bagaimana korelasi konsep pidana anak perspektif fikih dan hukum positif?

C. Fokus Penelitian

Untuk menghindari kesalahpahaman tentang ruang lingkup penelitian, maka penulis perlu memfokuskan penelitian. Secara umum, penelitian ini memfokuskan pada: 1) konsep sanksi terhadap pidana anak dalam perspektif fikih dan hukum positif di Indonesia, 2) perbedaan konsep sanksi terhadap pidana anak menurut perspektif fiqih dan hukum positif di Indonesia, 3) korelasi konsep pidana anak perspektif fiqih dan hukum positif di Indonesia.

D. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Untuk mendeskripsikan konsep sanksi terhadap tindak pidana anak perspektif fikih.
  2. Untuk mendeskripsikan konsep sanksi terhadap tindak pidana anak perspektif hukum positif di Indonesia
  3. Untuk menganalisis korelasi konsep hukum pidana anak perspektif fikih dan hukum positif.

E. Kegunaan Penelitian

  1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keagamaan, khususnya yang berkaitan dengan sanksi pidana terhadap anak. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi para peneliti yang ingin meneliti lebih lanjut pokok permasalahan yang dibahas.
  2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam upaya menanggulangi dan mencegah terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh anak.
  3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam dunia hukum, sehingga memberi implikasi pada pembentukan akhlak pada anak.


BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN


A. Landasan Teori

1. Tindak Pidana Anak

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda strafbaar feit atau delict. Simons seorang guru besar ilmu hukum pidana di Universitas Utrecht berpendapat bahwa tindak pidana ialah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan seseorang yang mampu bertanggung jawab.  Kesalahan yang dimaksud oleh simons ialah kesalahan dalam arti luas yang meliputi dolus (sengaja) dan culpa late (alpa dan lalai).

Berdasarkan definisi yang diutarakan oleh Marlina yang dikutip dari Simons tersebut, terdapat percampuran unsur-unsur tindak pidana (criminal act) yang meliputi perbuatan dan sifat melawan hukum dan pertanggung jawaban pidana (criminal ability) yang mencakup kesengajaan, kealpaan serta kelalaian dan kemampuan bertanggung jawab. Maka dapat pula disimpulkan bahwa unsur-unsur tindak pidana (delik) terdiri dari: (1) perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan); (2) diancam dengan pidana; (3) melawan hukum; (4) dilakukan dengan kesalahan; (5) orang yang melakukan mampu bertanggung jawab.

Berbeda dengan Simons, R. Soesilo dan Moeljatno mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan Undang-Undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan diancam dengan pidana.  Maka perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum tersebut di berikan ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Larangan ini ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian) yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian tersebut.

Tindak pidana anak, jika mengacu kepada berbagai definisi di atas, dimaknai sebagai perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, di berikan ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan. Larangan ini ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian) yang ditimbulkan atau dilakukan oleh anak-anak.

Hal tersebut disebutkan dalam Undang-undang, sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 45 KUHP dan surat edaran Kejaksaan Agung RI Nomor P.1 tanggal30 Maret 1951 yang menjelaskan bahwa:"Penjahat anak adalah mereka yang menurut hukum pidana melakukan perbuatan yang dapat dihukum, belum berusia 16 tahun (pasal 45 KUHP). Jadi hanya anak yang melakukan tindak pidana berdasarkan KUHPlah yang diajukan ke depan Sidang Anak."

Sehubungan dengan masalah tindak pidana anak ini, maka dapat kita hubungkan dengan apa yang disebut Juvenile Delequency yang dalam Bahasa Indonesia belum mendapatkan keseragaman penyebutannya seperti kenakalan anak, kenakalan pemuda ataupun jalin quersi anak.

Secara etimologis dapat dijabarkan bahwa “juvenile” berarti anak sedangkan "delequency" berarti kejahatan. Dengan demikian pengertian secara etimologis:juvenile delequency adalah kejahatan anak. Dan apabila menyangkut subyek atau pelakunya, maka juvenile delequency berarti penjahat anak atau anak jahat.

Kartini Kartono mendefinisikan juvenile delinquency sebagai perilaku jahat/dursila atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.

Dalam KUHP, jelas terkandung makna bahwa suatu perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

  1. Adanya perbuatan manusia
  2. Perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum
  3. Adanya kesalahan
  4. Orang yang berbuat harus dapat dipertanggung jawabkan.

Sedangkan menurut pasal 1 butir 2 Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa yang dimaksud dengan Anak Nakal adalah:

  1. Anak yang melakukan tindakan pidana, atau
  2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa; juvenile delinquency adalah tindakan atau perbuatan anak-anak usia muda yang bertentangan dengan norma atau kaidah-kaidah hukum tertulis baik yang terdapat di dalam KUHP maupun perundang-undangan di luar KUHP. Dapat pula terjadi perbuatan anak remaja tersebut bersifat anti sosial yang menimbulkan keresahan masyarakat pada umumnya akan tetapi tidak tergolong delik pidana umum maupun pidana khusus.

2. Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Anak

Penyebab timbulnya kenakalan anak merupakan faktor yang mendorong anak melakukan kenakalan atau latar belakang dilakukannya perbuatan itu. Dengan perkataan lain perlu diketahui motivasinya. Motivasi sering diartikan sebagai usaha-usaha yang menyebabkan seseorang atau kelompok tertentu tergerak untuk melakukan suatu perbuatan karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau membuat kepuasan dengan perbuatannya.

Masa anak-anak adalah masa yang sangat rawan melakukan tindakan, karena masa anak-anak suatu masa yang sangat rentan dengan berbagai keinginan dan harapan untuk mencapai sesuatu ataupun melakukan sesuatu. Seorang anak dalam melakukan sesuatu tidak/kurang menilai akibat akhir tindakan yang diambilnya, sebagai contoh anak suka coret-coret dinding, pagar atau tembok orang, melempar batu. Perbuatan tersebut secara hukum dilarang dan dikenakan sanksi pidana. Anak yang telah melakukan perbuatan harus diperbaiki agar jangan dikorbankan masa depan dengan memasukkannya dalam proses sistem pengadilan pidana dan menerima hukuman berat atas perbuatannya tersebut.

Wagiati Soetodjo menyatakan bahwa bentuk dari motivasi itu ada dua macam yaitu motivasi instrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah dorongan atau keinginan pada diri seseorang yang tidak perlu disertai perangsang dari luar, sedangkan motivasi ekstrinsik adalah dorongan yang datang dari luar diri seseorang.

a. Motivasi Intrinsik Kenakalan Anak

Motivasi intrinsik terdiri dari Faktor Intelegensia, faktor usia, faktor kelamin, dan Faktor Kedudukan Anak dalam Keluarga.

1) Faktor Intelegensia

Intelegia adalah kecerdasan seseorang, menurut pendapat Wundt dan Eisler adalah kesanggupan seseorang untuk menimbang dan memberi keputusan. Anak-anak delikuent pada umumnya mempunyai intelegensia verbal lebih rendah dan ketinggalan dalam pencapaian hasil-hasil skolastik (prestasi sekolah rendah). Dengan kecerdasan yang rendah dan wawasan sosial sosial yang kurang tajam, mereka mudah sekali terseret oleh ajakan buruk untuk menjadi delikuent jahat.

2) Faktor Usia

Stephen Hurwitz (dalam Atmasasmita) mengungkapkan age is importance factor in the causation of crime‛ (usia adalah yang paling penting dalam sebab musabab timbul kejahatan). Apabila pendapat tersebut kita ikuti secara konsekuen, maka dapat pula dikatakan bahwa usia seseorang adalah faktor yang penting dalam sebab musabab timbulnya kenakalan.

3) Faktor Kelamin

Di dalam penyelidikannya, Pail W. Tappan mengemukakan pendapatnya, bahwa kenakalan anak dapat dilakukan anak laki-laki maupun oleh anak Perempuan sekalipun dalam praktiknya jumlah anak laki-laki yang melakukan kenakalan jauh lebih banyak dari anak perempuan pada batas usia tertentu.

4) Faktor Kedudukan Anak dalam Keluarga

Yang dimaksud dengan kedudukan anak dalam kelurga adalah kedudukan seorang anak dalam keluarga menurut urutan kelahirannya, misalnya anak pertama, kedua, dan seterusnya. Hal ini dapat dipahami karena kebanyakan anak tunggal sangat dimanjakan oleh orangtuanya dengan pengawasan yang luar biasa, pemenuhan kebutuhan yang berlebihan-lebihan dan segala permintaannya dikabulkan. Perlakuan orangtua terhadap anak akan menyulitkan anak itu sendiri dalam bergaul dengan Masyarakat dan sering timbul konflik di dalam jiwanya apabila suatu ketika keinginannya tidak dikabulkan oleh anggota masyarakat yang lain, akhirnya mengakibatkan frustasi dan cenderung mudah berbuat jahat.

b. Faktor Ekstrinsik Kenakalan Anak

        Faktor Ekstrinsik meliputi:

1) Faktor Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan sosial yang terdekat untuk membesarkan, mendewasakan dan di dalamnya anak mendapatkan pendidikan yang pertama kali. Keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil akan tetapi merupakan lingkungan yang paling kuat dalam membesarkan anak terutama bagi anak yang belum sekolah. Oleh karena itu, keluarga memiliki peranan yang berpengaruh positif bagi perkembangan anak.

2) Faktor Pendidikan dan Sekolah

Sekolah adalah sebagai media atau perantara bagi pembinaan jiwa anak-anak atau dengan kata lain sekolah ikut bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak, baik pendidikan keilmuan maupun pendidikan tingkah laku (character). Banyaknya atau bertambahnya kenakalan anak secara tidak langsung menunjukkan kurang berhasilnya sistem pendidikan di sekolah-sekolah.

Menurut Zakiah Darajat bahwa pengaruh negatif yang menangani langsung proses pendidikan antara lain kesulitan ekonomi, yang dialami guru dapat mengurangi perhatiannya terhadap anak didik. Guru sering tidak masuk akibatnya anak-anak didik terlantar bahkan sering terjadi guru marah kepada muridnya. Biasanya guru melakukan hal demikian apabila terjadi sesuatu yang menghalangi keinginannya. Dia akan marah apabila kehormatannya direndahkan baik secara langsung maupun tidak langsung atau aktivitas bisnis lainnya terganggu, sebagian atau seluruhnya atau lain dari itu.

3) Faktor Pergaulan Anak

Harus disadari bahwa betapa besar pengaruh yang dimainkan oleh lingkungan pergaulan anak terutama sekali disebabkan oleh konteks kulturalnya. Dalam situasi sosial yang menjadi semakin longgar anak-anak kemudian menjauhkan diri dari keluarganya untuk kemudian menegakkan eksistensi dirinya yang dianggap sebagai tersisih dan terancam. Meraka lalu memasuki satu unit keluarga baru dengan subkultur baru yang sudah delikuen sifatnya.

4) Pengaruh Media

Pengaruh media pun tidak kalah besarnya terhadap perkembangan anak. Keinginan atau kehendak yang tertanam pada diri anak itu untuk berbuat jahat kadang-kadang timbul karena pengaruh bacaan, gambar-gambar dan film. Bagi anak-anak yang mengisi waktu senggangnya dengan bacaan-bacaan yang buruk maka hal itu akan berbahaya dan dapat menghalangi-halangi mereka untuk berbuat hal-hal yang baik. Demikian pula tontonan yang berupa gambar-gambar porno akan memberikan rangsangan seks terhadap anak. Rangsangan seks tersebut akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan jiwa anak.

3. Penerapan Sanksi Terhadap Tindak Pidana Anak

Penjelasan Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) menyebutkan, meski Undang-Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak, namun masih memerlukan suatu Undang-Undang mengenai perlindungan anak yang lebih spesifik sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut.

Undang-Undang ini menjelaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan nantinya sebagai penerus bangsa.

Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yaitu sejak janin dalam kandungan, sampai anak tersbut berusia delapan belas tahun. Bertolak dari Undang-Undang yang utuh dan menyeluruh, maka Undang-Undang tentang perlindungan anak berdasarkan empat asas:

1) Asas Nondiskriminasi

Asas nondiskriminasi adalah asas yang tidak membedakan, membatasi, atau mengucilkan anak, baik secara langsung, maupun tidak langsung berdasarkan agama, suku, ras, golongan, status sisial, ekonomi, budaya, maupun jenis kelamin yang dapat mempengaruhi pemenuhan perlindungan hak-hak anak.

2) Asas Kepentingan Terbaik bagi Anak

Asas Kepentingan Terbaik bagi Anak adalah asas yang menekankan dalam semua tindakan yang berkaitan dengan anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, maupun badan legislatif dan yudikatif, kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi yang utama.

3) Asas Hak untuk Hidup, Kelangsungan Hidup, dan Perkembangan

Asas ini menekankan bahwa setiap anak mempunyai hak hidup yang aman, tentram, damai, dan bahagia, sejahterah lahir batin, serta berhak atas kehidupan mendasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak, dan hak untuk mendapat standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spritual, moral, dan sosial uang disebutkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.

4) Asas Penghargaan terhadap Pandangan/Pendapat Anak

Asas ini memberikan tempat tanpa adanya batasan terhadap anak untuk mengeluarkan dan menyatakan pendapatnya. Asas ini meliputi; hak untuk berpendapat dan memperoleh perlindungan dari pendapatnya, hak mendapatkan informasi dan mengekspresikannya, hak berserikat dan menjalin hubungan, dan hak mendapatkan informasi yang layak.

Tujuan Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) secara umum adalah memberikan perlindungan kepada anak dari kekerasan fisik; emosional; sosial dan seksual; ataupun deskriminasi dari latar belakang ekonomi, politis, agama, sosial, dan budaya, agar anak dapat tumbuh berkembang, berpartisipasi secara optimal.

Memberikan perlindungan kepada anak merupakan tindakan yang tepat, karena anak-anak dikategorikan sebagai kelompok yang rentan (vulnerable groups). Komisi PBB untuk hak ekonomi, sosial dan budaya juga mengidentifikasi anak sebagai kelompok rentan bersama dengan kelompok rentan lainnya, seperti petani yang tidak memiliki tanah, pekerja desa, pengangguran di desa, pengangguran di kota, kaum miskin kota, usia lanjut, dan kelompok khusus lainnya.

B. Penelitian yang Relevan

  1. Tesis yang ditulis oleh Asmar (2022) dengan judul “Analisis Fiqh Jinayah Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak di Polres Parepare” Hasil penelitian menunjukkan pengaturan diversi terhadap arah pelaku tindak pidana narkotika untuk masa yang akan datang konsep diversi yang dimplementasikan di Indonesia hanyalah sebuah komponen dari perbaikan struktur Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai alternatif dari peradilan pidana formal, dengan meletakkan upaya diversi dalam setiap tahap proses peradilan (Penyidikan, Penuntutan dan Pengadilan). Dalam analisis fiqh jinayah Ketentuan hukum Islam tentang sanksi pelaku tindak pidana narkotika anak di bawah umur, dalam hukum Islam anak yang belum baligh, bila melakukan tindakan yang melanggar hukum, maka wajib dikenakan sanksi had ataupun ta’zīr. Sebab ia belum termasuk (dewasa) dan belum mengetahui hak dan kewajiban dalam Islam. Para fuqaha telah sepakat bahwa seorang anak yang belum mencapai usia baligh tidak wajib. Dikenakan hukuman, bila anak tersebut melakukan perbuatan dosa.

  2. Tesis yang ditulis oleh Bambang Purnomo (2017) Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang dengan judul "Penegakkan Hukum Tindak Pidana Anak Sebagai Pelaku Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi Kasus Di Polres Tegal)" Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa: (1) Untuk mengetahui dan menganalisa pelaksanaan penegakan hukum terhadap tindak pidana anak sebagai pelaku dalam sistem peradilan pidana anak dimana menjadi dua proses yaitu dalam proses peradilan dan di luar proses peradilan yang mana dalam kasus anak sebagai pelaku tindak pidana, diutamakan untuk melalui proses diluar peradilan yang disebut diversi yang bertujuan untuk melindungi hak-hak anak yang telah tercantum dalam UUD NRI Tahun 1945 dan perundang-undangan terkait anak. (2) Untuk mengetahui dan menganalisa hambatan yang dihadapi Polres Tegal dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana anak sebagai pelaku dalam sistem peradilan pidana anak dalam hal pelaksanaan ada hambatan-hambatan yang dialami institusi khususnya kepolisian baik hambatan internal maupun eksternal dalam proses penyidikan sebagai wewenang kepolisian pada sistem peradilan pidana anak. (3) Untuk mengetahui dan menganalisa pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana anak sebagai pelaku pada masa depan bagi Polres Tegal yang dalam hal ini Polres Tegal berupaya mengatasi hambatan-hambatan yang terjadi baik hambatan eksternal maupun internal dengan berbagai solusi yang bertujuan untuk melancarkan pelaksanaan yang seimbang antara penegakan hukum dan perlindungan anak yang menjadi acuan keberhasilan bagi Polres Tegal di masa datang dalam menangani kasus anak sebagai pelaku tindak pidana.

  3. Penelitian yang dilakukan oleh Adil Kasim dengan judul “Reformulasi Peradilan Pidana Anak yang Berkonflik dengan Hukum Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum. Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Perlindungan hukum anak yang berkonflik dengan hukum dalam peradilan pidana masih cenderung diskriminatif, belum memperhatikan kepentingan terbaik anak, dan belum menjamin kelangsungan hidup serta tumbuh kembang anak. Hal ini di buktikan dengan masih adanya perbedaan perlakuan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dalam peradilan pidana anak, (2) Pemidanaan yang diterapkan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum masih dominan pidana penjara dengan pertimbangan bahwa penerapan pemidanaan tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, (3) Konsep ideal peradilan pidana anak yang berkonflik dengan hukum sebagai bentuk perlindungan hukum seharusnya menggunakan keadilan restorative melalui penerapan diversi terhadap tindak pidana yang dilakukan anak yang berkonflik dengan hukum tanpa adanya pembatasan ancaman pidana dari tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Namun kenyataannya penerapan keadilan restoratif belum dilakukan secara penuh karena Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan Batasan terhadap tindak pidana yang dapat dilakukan diversi sehingga hal ini berdampak pada hilangnya kesempatan anak mendapatkan pendidikan dan pengembangan keterampilan yang layak, sehingga anak berpeluang Kembali melakukan tindak pidana. Berdasarkan temuan tersebut maka perlu mereformulasi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terutama Pasal 7 ayat (2) huruf a , Pasal 71 ayat (1) huruf e, Pasal 79, Pasal 82 ayat (3), Pasal 105 ayat (1).

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN


A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif-analitis dan termasuk penelitian kepustakaan (library research), yaitu menelaah buku-buku, karya ilmiah, majalah, surat kabar, maupun peraturan perundang-undangan serta kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan penelitian ini. Menurut Mahmud, penelitian kepustakaan (library research) yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data Pustaka.  

Menurut M. Nazir, studi kepustakaan adalah Teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.  Penelitian library research juga dapat dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data Pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis pendekatan multidisipliner yaitu:

a. Pendekatan Teologis Normatif (syar’i).

Pendekatan ini digunakan untuk menganalisis ketentuan-ketentuan fikih yang bersumber dari Alquran dan hadis terhadap sanksi pidana terhadap anak.

b. Pendekatan Yuridis/Perundang-undangan (statue approach)

Pendekatan ini digunakan untuk menalaah semua Undang-Undang dan regulasi yang terkait dengan pembahasan.  Dalam hal ini adalah ketentuan Undang-undang RI No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, serta Undang-undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

c. Pendekatan Historis (historical approach)

Pendekatan ini digunakan untuk membantu peneliti mengetahui dan memahami aturan hukum dari waktu ke waktu. Terkait pula dengan pemberlakuan Undang-undang RI tentang sanksi pidana terhadap anak.

Ketiga pendekatan ini dapat digunakan untuk menganalisis penerapan sanksi pidana terhadap anak perspektif fikih dan hukum positif di Indonesia.

B. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini bersifat kepustakaan atau berasal dari berbagai literatur, diantaranya buku, jurnal, surat kabar, dokumen, dan lain sebagainya.

C. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), maka data penelitian ini diperoleh melalui data kepustakaan khususnya yang berkaitan dengan pidana anak di Indonesia. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengutip, menyadur dan mengulas literatur yang memiliki relevansi dengan masalah yang dibahas, baik yang bersumber dari undang-undang, peraturan pemerintah, buku, maupun artikel-artikel yang dianggap representatif.

D. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah nas Alquran, hadis, peraturan perundang-undangan dan pemikiran-pemikiran yang didapat dalam buku-buku atau sumber-sumber lain. Adapun langkah-langkah sistematis yang ditempuh dalam melakukan analisis data adalah sebagai berikut:

  1. Melakukan pemilihan terhadap pokok bahasan yang terdapat dalam berbagai literatur yang ada baik dalam perundang-undangan maupun buku-buku tentang hukum pidana anak, ataupun buku-buku tentang pembahasan tersebut dalam literatur-literatur klasik maupun kontemporer.
  2. Melakukan klasifikasi terhadap latar belakang tesis.
  3. Mendeskripsikan masalah dan menelaahnya sesuai dengan tujuan dari penulisan tesis.
  4. Menelusuri pendapat-pendapat para ulama sesuai dengan objek kajian tesis.
  5. Menafsirkan nas Alquran, hadis, peraturan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan yang ada sesuai dengan objek kajian tesis.
  6. Mengkaji proses legislasi batas usia anak dalam dalam tindak pidana dan penegakan hukumnya.
  7. Mengkomparasikan antara konsep pidana anak dalam perspektif fikih dan hukum positif di Indonesia, untuk memperoleh konklusi yang lebih komprehensip tentang objek kajian.
  8. Merumuskan hasil penelitian.

E. Rencana dan Waktu Penelitian

Penelitian ini memfokuskan pada Sanksi  Terhadap Tindak Pidana Anak Dalam Perspektif Fikih Dan Hukum Positif Di Indonesia. Penelitian ini diawali dengan penulisan proposal, pemahaman literatur-literatur yang berkaitan, pengumpulan data-data yang diperlukan, serta melakukan analisis.

DAFTAR PUSTAKA

  1. C.S.T. Kansil, et al., Tindak Pidana dalam Undang-undang Nasional (Cet.I; Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009.
  2. Dahlan, Abdul Azis (et. al), Ensiklopedi Hukum Islam (Cet. I; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
  3. Dradjat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
  4. Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Cet. I; Jakarta: Refika Aditama, 2008.
  5. Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Bulan Bintang, 1967.
  6. Kartono, Kartini. Patalogis Sosial 2; Kenakalan Remaja. Cet. VIII; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
  7. Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia; Tinjauan dari Aspek Metodologis, legislasi dan Yurisprudensi , Ed. 1 (Cet. II; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
  8. Mahmud, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2011.
  9. Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Cet. I; Bandung: Refika Aditama, 2009.
  10. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Cet. V; Jakarta: Kencana, 2009.
  11. Nazir, M., Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003.
  12. Saraswati, Rika, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, Cet. I; Semarang: PT Citra Aditya Bakti, 2009.
  13. Setiady, Tholib, Pokok-Pokok Hukum Panitensier Indonesia. (Cet. I; Bandung: Alfabeta, 2010.
  14. Soesilo, R. dan Muljatno, Deonstruksi Hukum Adat atas Hukum Positif. Cet. I; Yogyakarta: Rajawali Perss 2008.
  15. Waluyadi, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana, Cet. I; Bandung: CV. Mandar Maju, 2009.


Post a Comment for "SANKSI TERHADAP TINDAK PIDANA ANAK DALAM PERSPEKTIF FIKIH DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA"